Showing posts with label tulisan orang. Show all posts
Showing posts with label tulisan orang. Show all posts

Thursday, April 28, 2011

My Earphone

"Seperti orang gila saja..."
 
Beberapa orang sering mengucapkan kalimat itu jika mereka tengah mengomentari style saya. Apalagi jika saya sudah memakai topi, dan earphone yang sangat mencolok. Earphone. Benda itu adalah teman terbaik saya, sekaligus menjadi penyumbat telinga dari gelombang ocehan jelek tentang saya, maupun tentang sekeliling saya. (Mungkin termasuk tentang kamu?)

Saya muak mendengar orang-orang mengoceh tentang orang lain, seperti mereka tidak pernah melakukan salah saja. Mungkin mereka tak sadar, jika sebetulnya ocehan mereka tentang orang lain itu suatu saat akan berbalik ke mereka. Karena itulah, karena saya tak ingin termakan ludah saya (atas omongan saya tentang laku orang lain), maka, saya memilih untuk menyumbat telinga saya dengan earphone (baik ada musiknya, ataupun tidak).

Hal ini pun saya lakukan karena saya sadar, saya hidup hanya sendiri. Teman sebaik apapun yang saya punya, toh akhirnya melukai saya juga. Makanya, jangan sekalipun mengucapkan kalimat itu lagi pada saya, mengerti?



Oleh: Tetha Anjani

Sunday, January 30, 2011

Dear my beloved Father...


Bagi seorang yang sudah dewasa, yang sedang jauh dari orang tua, akan sering merasa kangen dengan mamanya. Bagaimana dengan papa? Mungkin karena mama lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaan setiap hari. Tapi, tahukah kamu jika ternyata papalah yang mengingatkan mama untuk meneleponmu?

Saat kecil, mamalah yang lebih sering mendongeng. Tapi, tahukah kamu bahwa sepulang papa bekerja dengan wajah lelah beliau selalu menanyakan apa yang kamu lakukan seharian?

Saat kamu sakit batuk/pilek, papa kadang membentak "sudah dibilang! jangan minum es!".  Tapi, tahukah kamu bahwa papa khawatir?

Ketika kamu remaja, kamu menuntut untuk dapat izin keluar malam. Papa dengan tegas berkata "tidak boleh!" Sadarkah kamu bahwa papa hanya ingin menjagamu? Karena bagi papa, kamu adalah sesuatu yang sangat berharga.

Saat kamu bisa lebih dipercaya, papa pun melonggarkan peraturannya. Kamu akan memaksa untuk melanggar jam malamnya. Maka yang dilakukan papa adalah menunggu di ruang tamu dengan sangat khawatir.

Ketika kamu dewasa dan harus kuliah di kota lain, papa harus melepasmu. Tahukah kamu bahwa badan papa terasa kaku untuk memelukmu? Dan papa sangat ingin menangis.

Di saat kamu memerlukan ini itu, untuk keperluan kuliahmu, papa hanya mengernyitkan dahi. Tapi, tanpa
menolak beliau memenuhinya.

Saat kamu diwisuda, papa adalah orang pertama yang berdiri dan bertepuk tangan untukmu. Papa akan tersenyum dan bangga.

Sampai ketika teman priamu datang untuk meminta izin mengambilmu dari papa, papa akan sangat berhati-hati dalam memberi izin. Karena papa tahu bahwa pria itulah yang akan menggantikan posisinya nanti.

Dan akhirnya, saat papa melihatmu duduk di pelaminan bersama pria yang dianggapnya pantas menggantikannya, papa pun tersenyum bahagia. Apa kamu tahu, bahwa papa sempat pergi ke belakang dan menangis? Papa menangis karena papa sangat bahagia. Dan ia pun berdoa "Ya Tuhan, tugasku telah selesai dengan baik. Bahagiakan putri kecilku yang manis bersama suaminya".

Setelah itu papa hanya bisa menunggu kedatanganmu bersama cucu-cucunya yang sesekali datang untuk menjenguk. Dengan rambut yang memutih dan badan yang tak lagi kuat untuk menjagamu.





-- dari pesan seorang sahabat yang ingin mengingatkan kita tentang sosok seorang papa menjaga kita --









Beloved daughter
Anggina Hutabarat

Saturday, January 15, 2011

Pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010

Pertanggungjawaban Dewan Juri
Sayembara Menulis Novel
Dewan Kesenian Jakarta 2010


Seperti akan sepi peminat hingga sebulan menjelang batas akhir penerimaan naskah, sayembara penulisan novel DKJ 2010 ini akhirnya menerima 277 naskah dari para peserta yang berdomisili di berbagai kota di Indonesia, bahkan di luar negeri. Sebagian besar naskah masuk pada hari terakhir. Itu lumrah. Setiap pekerjaan, apa pun jenisnya termasuk menulis novel, memang selalu akan menghabiskan seluruh waktu yang disediakan.

Karena itu lomba penulisan novel menjadi penting artinya untuk mendorong orang menyelesaikan karyanya—sebab ada deadline di sana. Dan deadline selalu merupakan anasir penting yang bisa memaksa penulis merampungkan pekerjaannya. Kita tahu, tidak banyak orang yang bisa menentukan deadline bagi dirinya sendiri kapan harus merampungkan penulisan novel, kecuali ia sangat disiplin. Maka, inilah salah satu pencapaian terpenting lomba penulisan novel: ia mendorong banyak orang merampungkan penulisan novel mereka, mendorong lahirnya banyak karya.

Menghadapi tumpukan 254 naskah yang harus dinilai, kami dewan juri sempat berharap akan ada satu atau dua, syukur-syukur tiga, di antaranya yang menawarkan kejutan. Namun kejutan itu tak ada. Sebagian besar karya yang masuk adalah novel-novel yang akan tumbang pada halaman-halaman awal karena gagal mengikat pembaca untuk terus melanjutkan pembacaan. Beberapa cerita mampu menyajikan pembukaan yang menarik, tetapi kemudian berkembang menjadi lanturan yang bertele-tele dan kehilangan arah.

Mekanisme Penjurian dan Dasar Pertimbangan

Dalam penjurian yang berlangsung tiga bulan, dewan juri mengadakan tiga kali rapat. Rapat pertama untuk menyepakati poin-poin penilaian dan mekanisme penentuan pemenang. Rapat kedua masing-masing juri datang dengan menyodorkan 10 unggulan. Rapat ketiga untuk memutuskan pemenang.

Mengenai kriteria penjurian, Komite Sastra DKJ selaku panitia menyerahkan sepenuhnya kepada tiga orang juri yang mereka pilih. Dalam pembicaraan bertiga di antara dewan juri, akhirnya diperoleh kesepakatan bahwa masing-masing dari kami—Anton Kurnia, A.S. Laksana, dan Sapardi Djoko Damono—memiliki pertimbangan sepenuhnya untuk memilh unggulan dan memberikan alasan untuk mempertanggungjawabkan pilihan tersebut.

Pada rapat kedua di mana setiap juri memilih 10 karya unggulan, urusannya masih mudah dan lancar. Jika pilihan masing-masing juri berbeda, maka ke-30 novel hasil seleksi awal ini akan dipertarungkan dalam penilaian akhir untuk menentukan satu pemenang utama dan empat unggulan. Secara kebetulan, seleksi tahap pertama ini menghasilkan 20 judul novel dengan rincian sebagai berikut: 2 novel ada dalam daftar unggulan semua juri, 6 novel dipilih oleh 2 juri, dan sisanya 12 novel dipilih oleh satu juri.

Perdebatan yang cukup alot terjadi pada rapat terakhir ketika tiap-tiap juri memberi argumen untuk mempertahankan pilihan masing-masing. Dalam rapat yang berlangsung selama tiga setengah jam itu dewan juri akhirnya bersepakat untuk memilih hanya empat unggulan dan tanpa pemenang utama. Keempat unggulan tersebut adalah naskah nomor 6 (Persiden), nomor 26 (Lampuki), nomor 39 (Jatisaba), dan nomor 130 (Memoar Alang-Alang). Ada hal-hal menarik pada masing-masing novel tersebut, namun ada kekurangan-kekurangan yang tidak memungkinkan kami menetapkan salah satunya menjadi pemenang utama. Berikut adalah catatan singkat tentang keempat novel unggulan dalam sayembara kali ini:

'Persiden' karya Wisran Hadi
Novel berlatar budaya Minangkabau yang mencoba mengangkat lokalitas dan persoalan-persoalan adat dengan cara pandang dan bentuk baru yang kritis. Tradisi dipertanyakan dan dibenturkan dengan kenyataan dan modernitas, bukan dimamah dan ditelan mentah-mentah. Alur bercabang di bagian akhir membuat novel ini lebih menarik dan tak konvensional.

Mengadopsi gaya kelisanan masyarakat Minang, yang suka meledek apa saja, dalam beberapa hal novel ini terasa menyegarkan. Namun seringkali terasa bahwa teknik kelisanan yang digunakan oleh penulis membawa risiko tersendiri: cerita menjadi melantur dan bertele-tele.

'Lampuki' karya Arafat Nur
Berlatar Aceh pada masa DOM, novel ini adalah satir cerdas tentang gebalau konflik TNI-GAM yang pada ujungnya menyengsarakan rakyat kecil. Dengan bahan cerita yang sangat emosional bagi rakyat Aceh, Lampuki mampu menjaga penokohan tidak menjadi hitam-putih, kendati karakterisasi tokoh utama/narator terasa kurang pendalaman. Upaya menyiasati bentuk tampak pada alur dan penokohan yang tak linear.

Ditulis dengan rasa humor yang cukup baik, dengan kalimat-kalimat yang beres, kadang terasa bahwa penulisnya agak kurang gigih mempertahankan kekuatan diksi. Pembaca bisa menemukan di sana-sini istilah yang tidak memiliki kekuatan literer, misalnya “pemerintah terkait”, “hidup makmur serba berkecukupan, dan sebagainya. Hal lain yang menjadi ganjalan utama, cerita berjalan sangat lambat.

'Jatisaba' karya Ramayda Akmal
Beragam karakter dimunculkan dalam cerita ini dan tertangani cukup baik. Hanya tokoh Sitas, perempuan kasar dan tukang bergunjing, kadang-kadang bersuara terlalu cerdas untuk karakter yang mendekati dungu. Menggarap masalah trafficking, yang dilakukan dengan kedok pengiriman TKI, novel ini dituturkan melalui sudut pandang si pelaku kejahatan, seorang perempuan yang sebelumnya juga menjadi korban kejahatan tersebut. Perempuan itu kembali ke desanya yang melarat dan kacau oleh situasi politik pilkades, mengkhianati kenangannya sendiri, mengkhianati kawan-kawan lama, dengan siapa ia sesungguhnya selalu ingin bersama-sama.

Ada kompleksitas masalah dalam masyarakat yang sederhana dan semua itu dituturkan secara enteng, seperti nyaris tanpa pemihakan atau emosi yang berlebihan. Bab I, yang merupakan kopian saja dari bagian tengah bab XX, harus ditulis ulang, atau dihilangkan saja. Masalah lain adalah kecenderungan yang tak tertahankan untuk menyelipkan bahasa lokal (terlalu sering dan terlalu banyak) dan itu sungguh mengganggu pembacaan.

'Memoar Alang-alang' karya Hendri Teja
Novel berlatar historis ini diilhami oleh kisah hidup tokoh faktual Tan Malaka (1896-1949). Penulis tampak berupaya melakukan riset untuk menghidupkan latar awal abad kedua puluh di Sumatra, Jawa, dan Belanda, serta atmosfer pergerakan nasional di tengah kungkungan kolonialisme. Sejumlah kejadian penting yang membangun watak, melandasi pilihan politik dan sikap hidup karakter utama berhasil dihidupkan dalam adegan-adegan yang menarik. Bangun cerita yang disusun lumayan memikat. Kisah cinta segi tiga yang disusupkan di antara jalinan utama cerita menghindarkan novel ini dari keterjerumusan menjadi sebuah risalah propaganda yang kering.

Kelemahan novel ini terletak pada penyusunan kalimat-kalimat yang sering rancu. Upaya terus-menerus untuk menggambarkan latar tempat dalam deskripsi yang statis membuat cerita berjalan lambat, sesuatu yang agak bertentangan dengan gejolak zaman dan pergolakan batin tokoh utama yang kelak menjadi tokoh pergerakan.

Catatan Umum atas Naskah-Naskah Peserta Sayembara

Hasil akhir di atas menyampaikan pesan yang cukup jelas, yakni bahwa harapan kami untuk mendapatkan satu saja karya yang istimewa tidak terpenuhi. Setidaknya, dalam pandangan kami dewan juri, tidak ada satu naskah yang benar-benar kuat untuk ditetapkan sebagai pemenang utama. Alih-alih menemukan satu atau dua yang istimewa, kami justru mendapati bahwa sebagian besar naskah yang disertakan dalam lomba kali ini mengecewakan dalam beberapa hal. Pertama, dalam hal keperajinan. Ini persoalan yang menjadi catatan utama dewan juri sayembara menulis novel DKJ dua tahun lalu. Dan tampaknya catatan itu masih harus diperpanjang sampai hari ini. Beberapa masalah pada keempat cerita di atas, yang terpilih sebagai unggulan, setidaknya bisa agak mewakili gambaran tentang lemahnya keperajiinan itu. Tentu saja ini adalah masalah mendasar yang harus segera dibereskan oleh para penulis itu sendiri. Tanpa kecakapan yang memadai, anda tahu, gagasan sebagus apa pun tidak akan menjadi karya yang menarik dibaca orang.

Kedua, sejumlah besar naskah menunjukkan kepada kita bahwa para penulisnya kurang membaca, atau kurang meluaskan minat terhadap bacaan. Ini berakibat pada miskinnya strategi literer yang mereka gunakan untuk membangun cerita. Dengan kata lain, kebanyakan dari mereka menulis dengan rujukan yang amat terbatas dalam hal teknik penceritaan, gaya bertutur, dan dalam mengupayakan berbagai kemungkinan bentuk. Sebagaimana dalam urusan-urusan lain, dalam penulisan pun kita perlu belajar banyak dari orang-orang yang lebih dulu dari kita. Mereka bisa dari mana saja dan kecakapan yang kita butuhkan bisa kita pelajari dari banyak sumber, dari banyak tempat.

Ketiga, ada kecenderungan luas untuk menjadikan sebuah karya sebagai kendaraan pengangkut dakwah, baik dakwah agama maupun dakwah sekuler, sehingga terasa bahwa para penulis hanya menunggangi cerita dan setiap karakter di dalamnya untuk kepentingan mereka sendiri, yakni menyampaikan petuah dan ajaran. Novel mereka dimaksudkan sebagai tanggapan langsung, yang nyaris tanpa pengendapan, dan sekaligus koreksi atas situasi hari ini. Ia memuat ide-ide besar, pernyataan-pernyataan besar, tetapi lupa membangun ceritanya menjadi dunia rekaan yang kokoh. Tampaknya, sebagian pengarang berhasrat menjadi reformer atau penggerak masyarakat.

Tentu saja niat apa pun dibolehkan dalam penulisan. Setiap penulis berhak menulis apa saja sekehendak hatinya. Namun setiap cerita yang baik selalu memperlihatkan kepada kita bahwa penulisnya memiliki kematangan teknis dan kepiawaian mengolah bahan dengan seluruh kecakapan dan pengetahuan yang ia miliki. Setiap cerita yang baik dengan demikian selalu menjadi dunia rekaan yang layak dipercaya: ia valid dan realistis menurut logika cerita itu sendiri, bahkan sekalipun yang diceritakan adalah dunia yang absurd atau kejadian-kejadian yang serba fantantis.

Itu tantangan umum bagi setiap penulis.

Tantangan lebih khusus yang menurut hemat kami perlu dijawab oleh penulis adalah bagaimana sebuah novel bisa memikat pembaca kita hari ini. Kita tahu, sekarang ini sebuah novel tidak hanya bertarung dengan novel-novel lain yang ditulis oleh penulis-penulis lain. Pertarungan lebih keras adalah melawan dongeng-dongeng lain yang lebih sanggup melayani zaman yang serba sibuk dan orang-orang yang tak memiliki banyak waktu. Anda bisa mendapatkan cerita menarik hanya dalam dua jam melalui sebuah film. Anda bisa mendapatkan cerita secara “gratis” melalui sinetron-sinetron.

Jadi apa yang membuat orang bertahan membaca novel? Apa yang bisa membuat orang mau bertekun dengan satu novel selama berjam-jam atau berhari-hari untuk menyelesaikan cerita dari halaman pertama hingga halaman akhir? Bagaimana sebuah novel bisa menarik perhatian pembaca yang sempit waktunya dan begitu beragam perhatiannya? Bagaimana bentuk penceritaan yang tepat utuk khalayak yang dirasuki oleh ide-ide tentang segala yang instan sementara novel sama sekali bukan sesuatu yang bisa diselesaikan secara instan?

Tampaknya hal-hal semacam itu belum menjadi perhatian para penulis peserta sayembara. Di luar naskah-naskah remaja yang terasa memindahkan kecerewetan sinetron ke dalam bentuk tertulis, banyak sekali novel yang pengisahannya begitu lambat dan berlarut-larut, seolah-olah tidak peduli apakah pembacanya punya waktu atau tidak. Seorang pembaca dengan minat yang baik terhadap bacaan mungkin tidak akan berkeberatan membaca naskah setebal 500 halaman—jika 500 halaman itu adalah ketebalan yang paling pas bagi novel tersebut. Artinya, novel itu tak mungkin ia diringkas-ringkas lagi.

Namun, jika novel 500 halaman bisa diringkus menjadi 150 halaman, misalnya, itu berarti ada kemubaziran sepanjang 350 halaman. Hal-hal mubazir inilah yang pada umumnya membuat cerita menjadi sangat lambat dan berlarut-larut, selain lemahnya kecakapan si penulis untuk menggerakkan cerita. Secara simpel kita bisa menganalogikan sebuah novel sebagai “riwayat hidup” yang sudah diringkas sedemikian rupa, yang sudah dibuang bagian-bagian buruknya, sehingga yang tersisa hanyalah hal-hal terbaik dari riwayat “tokoh(-tokoh) utama cerita itu”.  Karena itu mestinya ia tidak mengizinkan di dalamnya bagian-bagian yang kedodoran. Salah satu yang paling bisa kita persalahkan dalam urusan kelambanan penuturan dan kemubaziran adalah kecakapan yang tidak memadai untuk menggerakkan cerita.

Dari segi tema cerita, naskah-naskah yang masuk dalam sayembara kali ini sebenarnya menawarkan keragaman yang menggambarkan luasnya lingkup perhatian para penulis terhadap persoalan di masyarakat kita hari ini. Kita bisa mendapati tema-tema politik, kebobrokan moral, eksploitasi di tiap jenjang terhadap TKI, trafficking, kegagalan reformasi, perbenturan tradisi dan modernitas, gugatan terhadap institusi keagamaan, dan sebagainya. Selain itu, cukup banyak juga penulis yang mengolah materi lokal, baik sejarah maupun dongeng, dan membaurkannya dengan situasi hari ini.

Dari sisi itu, kita bisa bersyukur bahwa ada upaya melakukan eksplorasi lebih luas untuk menggarap tema dan mengolah sumber-sumber unik dengan penguasaan yang baik dan rinci terhadap bahan yang dijadikan sumber.

Masalahnya, materi yang menarik tidak dengan sendirinya akan menghasilkan cerita yang baik. Ia membutuhkan prasyarat lain yang sangat mendasar, yakni keperajinan, dan kekayaan strategi literer. Ini adalah batu sandungan pertama yang akan menggelincirkan setiap upaya untuk menghasilkan karya yang baik. Lemahnya keperajinan telah membuat sejumlah novel yang dimaksudkan sebagai respons atas situasi aktual, misalnya kondisi politik pasca-reformasi atau kebobrokan moral di masyarakat, gagal mencapai bentuk terbaiknya. Dalam kedua jenis novel itu, sebagian menjadi alat penyampai petuah dan sebagian lagi menjadi semacam laporan jurnalistik yang tidak meyakinkan.

Bagaimanapun, dalam pekerjaan tulis-menulis, ada unsur pertukangan yang mestinya harus betul-betul dikuasai oleh penulis. Ini menyangkut penguasaan teknis atas pelbagai perangkat kebahasaan. Juga ketepatan penggunaannya.

Kita ambil satu contoh, dalam kecakapan deskripsi misalnya. Pada suatu masa di abad kesembilan belas, kehebatan seorang pengarang diukur dari kemampuannya melukiskan secara amat rinci segala hal. Sekarang, apa yang pada saat itu dianggap sebagai kepiawaian, mungkin akan menjadi hal yang menjemukan jika kita terapkan dalam penulisan hari ini. Kemampuan untuk melukiskan secara rinci tentu saja masih diperlukan, tetapi penulis hari ini harus melakukannya dengan strategi yang berbeda agar cerita tidak terasa mandek.

Penutup

Begitulah pandangan umum dewan juri dan pertimbangan kami dalam memilih empat naskah unggulan. Terlepas dari catatan yang berisi sejumlah “keberatan” terhadap naskah-naskah yang menjadi peserta sayembara menulis novel kali ini, kami mengucapkan terima kasih kepada setiap peserta yang telah mengirimkan naskahnya. Ucapan terima kasih juga sudah sepatutnya kita berikan kepada Dewan Kesenian Jakarta yang terus mempertahankan tradisi penyelenggaraan sayembara menulis novel ini. Tidak dalam setiap lomba kita akan mendapatkan karya pemenang yang istimewa. Namun lomba semacam ini terbukti telah merangsang lahirnya banyak karya.

Jika nasib kita mujur, dari sebuah lomba kita bisa mendapatkan karya pemenang yang benar-benar kuat, bahkan dari penulis yang sebelumnya tak pernah kita kenal. Dalam kasus seperti ini, kita bisa mengatakan bahwa lomba seringkali menjadi jalan pintas bagi penulis untuk dibicarakan orang. Pertarungan di media-media besar, kita tahu, membutuhkan waktu panjang dan ketekunan dan daya tahan sampai akhirnya seseorang membuktikan diri layak dapat tempat. Dan ada satu hal yang sering membuat frustrasi para pemula, yakni munculnya anggapan bahwa media sering lebih mengutamakan nama-nama yang sudah mapan. Gugatan semacam ini masih sering terdengar dalam pelbagai forum, terutama oleh para penulis yang merasa dipinggirkan.

Tanpa mempersoalkan benar tidaknya gugatan itu, kami berpendapat bahwa sayembara penulisan sebagaimana yang rutin diselenggarakan oleh DKJ ini akan merupakan kesempatan baik bagi para penulis untuk bertarung dalam situasi yang lebih fair. Para juri hanya memeriksa naskah tanpa nama, tanpa identitas penulisnya, sebab semuanya diganti dengan angka. Maka, dalam riwayat sayembara DKJ, kita sering mendapati bahwa para pemenang dan unggulan adalah nama-nama yang sama sekali baru. Beberapa bertahan dan semakin matang, beberapa hilang. Dan kita akan mendapatkan gantinya melalui lomba yang akan datang.

Jakarta, 14 Januari 2011



Dewan Juri
Anton Kurnia
A.S. Laksana
Sapardi Djoko Damono

Malam Anugerah Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010

MALAM ANUGERAH SAYEMBARA MENULIS NOVEL DEWAN KESENIAN JAKARTA 2010
Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jumat, 14 Januari 2011.

Dimeriahkan pentas musik Twin Demon, pembacaan petikan novel unggulan oleh Arswendy Nasution dan Rukmi Wisnu Wardani, pameran Lintasan Sejarah Sayembara Novel DKJ, serta temu pengarang bersama Putu Wijaya, Ayu Utami, dan Yonathan Rahardjo.

Sebuah acara penting, Malam Anugerah Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010, akan digelar di Teater Kecil (Teater Studio), Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Jumat, 14 Januari 2011, pukul 19.00 WIB. Pergelaran dua tahunan ini akan dimeriahkan pentas musik Twin Demon, dan pembacaan petikan novel unggulan oleh Arswendy Nasution dan Rukmi Wisnu Wardani.

Selain itu, pada hari yang sama, mulai pukul 10.00 WIB, lobi Teater Kecil akan dimeriahkan Pameran Lintasan Sejarah Sayembara Novel DKJ, dan pada pukul 15.00 WIB akan diisi temu pengarang bersama Putu Wijaya, Ayu Utami, dan Yonathan Rahardjo. Ketiga novelis yang pernah memenangkan Sayembara Novel DKJ ini akan membeberkan proses kreatif dalam menulis novel dan dampak kemenangan tersebut  terhadap perkembangan kepengarangan mereka.

Sayembara Novel DKJ merupakan salah satu program unggulan Dewan Kesenian Jakarta yang diadakan sejak tahun 1974. Sempat terhenti sejak tahun 1981, kemudian diadakan lagi pada tahun 1998, dan “melahirkan” novel Saman karya Ayu Utami yang kontroversial sekaligus laris dan fenomenal. Novel ini banyak dikritik sekaligus dipuji, namun berhasil melambungkan nama Ayu Utami dan memberikan sejumlah penghargaan penting untuknya, seperti  Prince Claus Award 2000.

Selain Saman, cukup banyak novel penting lain yang lahir dari Sayembara Novel DKJ, seperti Aspar (1974) karya Astiti Rahayu, Dari Hari ke Hari (1974) karya Mahbub Junaedi, Raumanen (1975) karya Marianne Katoppo, Upacara (1976) karya Korrie Layun Rampan, Aku Bukan Komunis (1977) karya Yudhistira Ardhi Nugraha, Tiga Lagu Dolanan (1977) karya Ismail Marahimin, Dadaisme (2003) karya Dewi Sartika, Geni Jora (2003) karya Abidah el Khalieqy, Tabula Rasa (2003) karya Ratih Kumala, dan Ular Keempat (2003) karya Gus tf Sakai.

Tujuan utama sayembara ini adalah untuk merangsang dan meningkatkan kreativitas pengarang Indonesia dalam penulisan novel. Keberadaannya menjadi makin penting setelah berhasil melahirkan banyak novel penting dan pengarang ternama dalam sastra Indonesia. Meski hanya “hadiah harapan”, pengarang ternama Putu Wijaya juga pernah memenangi sayembara ini, melalui novel Merdeka pada tahun 1981. Cerpenis ternama, Hamsad Rangkuti, juga pernah memenangi sayembara ini, meski juga hanya pada posisi “hadiah harapan” pada tahun 1981 dengan novel Ketika Lampu Berwarna Merah. Pada tahun yang sama, hadiah pertama diraih novel Bako karya Darman Munir, dan hadiah kedua ditempati novel Harapan karya Nasjah Djamin.

Pada awalnya, Sayembara Novel DKJ diadakan setahun sekali. Setelah sempat vakum, lalu diadakan lagi pada tahun 1998, dan 2003. Kemudian, mulai 2006, sayembara ini ditradisikan dua tahun sekali, tiap tahun genap. Tahun 2006, antara lain, menghasilkan novel Hubbu karya Mashuri, dan Mutiara Karam karya Tusiran Suseno. Sedangkan tahun 2008, antara lain menghasilkan novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf.

Hal yang menggembirakan, antusiasme penulis selalu besar untuk mengikuti Sayembara Novel DKJ. Bukan hanya para pengarang muda, tapi juga para novelis senior dan ternama. Untuk tahun ini, misalnya, saat penutupan penerimaan naskah, telah ada 277 naskah novel yang masuk ke sekretariat DKJ. Selain itu, sejumlah penerbit besar, seperti Gramedia, juga selalu antusias untuk menerbitkan novel-novel yang memenangi sayembara ini.

Ke-277 naskah novel itulah dinilai oleh Dewan Juri yang terdiri dari Sapardi Djoko Damono, A.S. Laksana, dan Anton Kurnia. Tentu, kami sangat berharap sayembara novel ini dapat terus menghasilkan novel-novel baru yang lebih bagus, segar, dan fenomenal. Bukan sekadar novel yang bagus, tapi novel yang membawa semangat pembaharuan dalam kesastraan Indonesia. Kita saksikan saja, siapa kampiun-kampiun penulis novel yang menjadi juara kali ini!



Komite Sastra
Dewan Kesenian Jakarta   

Saturday, January 1, 2011

(Tentang Surealisme) La Revolution Surealiste

Surealisme memang bukan barang baru lagi di dunia seni dan kesusastraan. Ia (baca: surealisme) telah menggurita ke seluruh penjuru dunia. Bentuknya yang nyeleneh dan kontra logika itu telah berhasil membuat para pelaku seni begitu terpesona dan membuat orang-orang awam terperangkap dalam labirin enigma. Lukisan-lukisan yang ganjil, narasi-narasi yang berlompatan dengan begitu gaib, dan segala macam hal yang sepertinya tidak berpijak dalam realitas konvensional, telah bermunculan ke permukaan tanpa bisa dibendung lagi dengan cara apa pun. Begitulah. Akhirnya, surealisme pun hadir di sela-sela perbincangan di meja makan, di ruang tunggu rumah sakit, di stasiun kereta, dan di warung rokok pinggir jalan. Surealisme sudah menjadi bahan pergunjingan yang lumayan menyenangkan.

Namun, apakah surealisme itu?

Pengertian

Surealisme adalah gerakan kebudayaan yang menyeru kepada alam bawah sadar. Sebuah usaha untuk merayakan mimpi-mimpi yang semalam hadir di dalam tidur kita. Para Surealis sering membiarkan pikirannya mengalir dengan bebas ke dalam halaman kertas tanpa berusaha mengaturnya, sehingga mimpi yang mereka tulis ulang itu bisa hadir secara jujur dan apa adanya. Seorang pengarang/pelukis surealisme berharap, bahwa setiap mimpi yang mereka tulis/lukis ulang dan menjadi sebuah cerita/lukisan itu mampu menerjemahkan “diri” si pengarangnya atau dapat menjelaskan kondisi sosial di masyarakat.

Sejarah Singkat Surealisme

Surealisme lahir di Paris, Perancis, pada tahun 1924. Dengan diterbitkannya Manifesto Surealisme yang ditulis oleh Andre Breton, penulis sekaligus psikiatri asal Perancis, surealisme resmi menjadi sebuah gerakan kebudayaan baru. Bahkan, secara eksplisit Andre Breton mengatakan bahwa surealisme adalah sebuah gerakan revolusioner. Setelah itu, secara bertahap gerakan surealisme pun menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Bisa dikatakan surealisme adalah kelanjutan dan pengembangan dari gerakan Dada, yang lahir ketika Perang Dunia I sedang berkecamuk. Perang Dunia I telah menyebabkan seniman dan penulis yang semula berkumpul di paris berpencar. Selama berada di luar Paris, para seniman dan penulis itu kemudian tergabung dalam gerakan Dada. Gerakan Dada murni bersifat politis. Dada lahir atas dasar kekecewaan terhadap kehancuran besar-besaran yang disebabkan oleh perang. Kaum Dadais percaya bahwa pikiran rasional yang berlebihan bisa mengakibatkan konflik mengerikan di dunia. Kaum Dada mengejek rasionalitas dan mengusung irasionalitas. Menurut mereka, rasionalitas adalah belenggu kebudayaan yang sudah semestinya dibongkar. Sebagai akibatnya, kaum Dada sering terlihat eksentrik dan anti-rasional dalam berkarya. Mereka meracau dengan kata-kata ganjil keras-keras, menyobek kata-kata yang terdapat di koran-koran lantas menyusunnya kembali untuk kemudian disebut sebagai puisi, memberi kumis pada lukisan Monalisa, dan menyatakan ke publik bahwa celana dalam dan tiang listrik adalah sebuah karya seni. Gerakan surealisme adalah pengembangan dari gerakan Dada tersebut, tapi lebih fokus menyorot kepada alam bawah sadar dan mimpi-mimpi yang berasal dari hasrat-hasrat yang terkekang. Bisa juga dikatakan bahwa surealisme adalah tindakan yang bersifat asketis.

Dalam Wikipedia tertulis bahwa para surealis bertujuan memperbaharui pengalaman manusia, meliputi aspek individu, budaya, sosial dan politik, dengan membebaskan manusia dari apa yang mereka lihat sebagai rasionalitas palsu, kebiasaan (custom) dan pola (structure) terbatas.

Surealisme dan Freud

Menurut kontributor Encarta Reference Library, Claude Cernuschi, para surealis secara hebat dipengaruhi oleh Sigmund Freud, pendiri psikoanalisis dari Austria. Mereka terutama sangat menerima pembedaannya antara ego dan id, yaitu antara naluri-naluri dan hasrat-hasrat utama kita (id) dan corak perilaku kita yang lebih beradab dan rasional (ego). Sejak tuntutan dan kebutuhan utama kita secara berkala berjalan bersinggungan dengan pengharapan masyarakat, Freud menyimpulkan bahwa kita menekan hasrat asli kita ke dalam bagian bawah sadar pikiran kita. Untuk individu yang ingin menikmati kesehatan kejiwaan, ia rasa, mereka harus membawa hasrat-hasrat itu ke pikiran sadar. Freud percaya bahwa – mengesampingkan desakan tuntutan untuk menekan hasrat-hasrat – yang ada di pikiran bawah sadar tetap menampilkan dirinya, terutama ketika pikiran yang sadar melonggarkan cengkeramannya; dalam mimpi, mitos, corak kelakuan ganjil, terpelesetnya lidah, ketidaksengajaan, dan seni. Dalam pencarian untuk mendapatkan akses ke alam pikiran bawah sadar, para surealis menciptakan bentuk dan teknik baru seni yang radikal.

Dalam tulisannya yang bertajuk Surealisme dalam Prosa, Noor H. Dee menulis begini: “Mimpi yang tidak beraturan, menurut Sigmund Freud, lahir dari hasrat-hasrat terpendam yang bersemayam di dalam alam bawah sadar. Saat menjalani kehidupan, dalam diri manusia memang selalu terjadi pertikaian sengit dan pergulatan seru dalam memperebutkan dominasi antara Id (hasrat/gharizah) dan ego (etika), atau kalau menurut Kierkergard, selalu ada pertarungan antara estetis yang impulsif dan etis yang santun—dan salah satu yang kalah akan menempati ruang di alam bawah sadar. Dengan surealisme, alam bawah sadar yang selama ini terkunci di dalam goa-goa yang pekat nihil cahaya, akan dapat dihadirkan secara terang-terangan.”

Teknik Surealisme

Barangkali teknik yang sering dipakai dalam karya-karya surealisme adalah teknik otomatisme. Otomatisme adalah menulis dengan cara tanpa melakukan sensor terhadap tulisan. Dalam otomatisme, imaji tidak boleh dibebankan makna dan tujuan. Sebab, menurut Carl Jung, otomatisme bukanlah untuk menghakimi imaji bawah sadar, melainkan menerimanya sebagaimana ia masuk ke dalam kesadaran sehingga dapat dianalisis.

Andre Breton dan Philippe Soupault, penulis asal Perancis, telah menggunakan teknik otomatisme ini dalam karyanya yang berjudul The Magnetic Fields (Les Champs Maqnétiques). The Magnetic Fields bisa dikatakan sebagai karya sastra surealis pertama. Beberapa penulis surealis kemudian mengikutinya. Mereka membuat catatan-catatan dari mimpi, beralih pada teknik otomatisme untuk mengakses alam bawah sadar. Dalam penulisan otomatis para surealis membiarkan pikirannya mengalir dengan bebas ke dalam halaman kertas tanpa mencoba untuk menyunting atau mengaturnya. Hasil aliran kata-kata tersebut seringkali susah dimengerti. Para pembaca sering dibuat bingung karenanya. “Tulisan ini maksudnya apa?” begitulah kira-kira kalimat yang terlontar dari mulut seorang pembaca.

Dampak Surealisme

(di sub-bab ini, penulis merasa kelelahan dan memutuskan untuk mengcopy-paste saja dari Wikipedia tanpa ditambahi sedikit pun tapi dikurangi sedikit saja)

Surealisme memiliki dampak pada politik radikal dan revolusioner, baik langsung—beberapa surealis menggabungkan diri dengan partai, gerakan dan kelompok politik radikal—dan tak langsung—melalui penekanan pada hubungan antara pembebasan imajinasi dan pikiran. Hal ini tampak khususnya dalam Gerakan Kiri Baru tahun 1960-an dan 1970-an serta pemberontakan Prancis Mei 1968 dengan slogan “Kekuatan untuk imajinasi” yang muncul langsung dari pikiran dan praktek surealis Prancis.

Banyak gerakan kesusastraan penting di paruh abad 20 secara langsung dan tak langsung dipengaruhi ide surealisme. Periode ini dikenal sebagai era postmodern. Meskipun tidak ada definisi dasar untuk postmodernisme, banyak tema dan teknik postmodernis yang mirip dengan surealis. Kemungkinan para penulis era postmodern yang memiliki gaya mirip surealis adalah para penulis drama di “Theatre of the Absurd”. Meskipun bukan gerakan terorganisir, kelompok drama ini memiliki banyak kesamaan (dalam tema dan teknik) dengan surealisme sehingga wajar jika mereka disebut mendapat pengaruh dari gerakan tersebut.

Eugene Lonesco secara khusus memuji Surealisme. Dia menyebut Breton sebagai salah satu pemikir penting dalam sejarah. Samuel Beckett juga penggemar surealisme bahkan dia sering menerjemahkan puisi surealis ke dalam Bahasa Inggris. Beckett memiliki hubungan dekat dengan mentor sekaligus rekannya, James Joyce. Philip Lamantia dan Ted Joans sering dikelompokkan sebagai penulis surealis dan Beat. Banyak penulis Beat yang menyebut surealisme memberikan pengaruh penting.

Beberapa contoh adalah Bob Kaufman, Gregory Corso dan Allen Ginsberg. Dalam budaya populer, penulisan lirik bergaya stream of consciousness dari Bob Dylan (1960-an dan 1980-an s.d 2006) memiliki hubungan dan citra surealisme. Realisme Magis (Magic Realism), teknik penulisan populer di paruh abad 20-an—khususnya digunakan oleh para penulis Amerika Latin—menunjukkan pengaruh surealisme dengan adanya kombinasi pengalaman normal dan dunia mimpi. Kepopuleran Realisme Magis di ranah kesusteraan Amerika Latin tertutupi oleh pengaruh surealisme dari para pelukis Amerika Latin sendiri, misalnya Frida Kahlo.

Selesai. Semoga bermanfaat. Selamat menulis dan selamat merayakan irasionalitas dalam berkarya.

Salam,
(tukangtidur/dari berbagai sumber)

Saturday, December 4, 2010

Happy Birthday to Me


Dulu, tidak beberapa lama waktu yang lewat, rasanya aku sering tertawa atau mengutuk dalam hati ketika melihat tingkah laku bodoh dan naif para teruna. Aku tertawa dan selalu punya keinginan menunjukkan bahwa mereka tidak harus melewati masa-masa seperti itu. Bahwa seseorang bisa langsung meloncati kebodohan karena banyak pelajaran bisa diambil dari orang lain seperti aku, senior mereka ini.

Aku menyesal pernah punya perasaan seperti itu. Kebodohan ternyata tidak pernah bisa berhenti. Tidak memandang usia. Juga bukan tentang seberapa banyak kepahitan dalam hidup, dan kau merasa bisa mengambil sebanyak itu juga pelajaran darinya. Jenisnya mungkin berbeda-beda, tapi kebodohan tetap kebodohan. Selalu ada pemakluman untuk kebodohan, namun selalu juga ada orang lain yang berkata bahwa kau sebenarnya bisa berbuat lebih dari itu. Ini membuat kita malu. Terlebih kalau yang menunjukkan itu ternyata orang yang lebih muda. Aku melihatnya di wajah mereka. Sungguh menyakitkan karena sekarang giliran mereka yang berkata “harap maklum” tentang kita pada diri mereka sendiri dan teman-temannya. Mungkin mereka tidak protes karena menunggu aku masuk lubang hitam dan tidak muncul lagi. Kenapa sih mereka ini? Apa mereka tidak diajari orang-tuanya tentang satu masa seseorang bisa jadi ngaco dan kurang bertanggung jawab omongan dan perbuatannya tapi sebenarnya sedang pasang ancang-ancang untuk masuk ke dunia yang lebih berat lagi? Entah akhirnya bisa jalan dengan tegap atau hanya ancang-ancang terus, itu urusan lain lagi. Yah, aku juga tidak pernah diajari seperti itu sih. Aku hanya kesal saja.

"Ku rasa kebenaran itu selalu sederhana," kata Sheriff Bell di No Country For Old Man. "Pasti begitu. Kebenaran memang harus sederhana sehingga seorang anak pun akan bisa mengerti. Jika tidak, semuanya akan terlambat. Saat kita mulai memahami semua akan terlambat." Gagah sekali kata-katanya, ya? Aku tersindir karena rasanya telah menyiakan banyak waktu untuk belajar. Tiba-tiba usiaku sudah 24 saja. Aku coba hentikan waktu dengan masker dan mulai sering pakai t-shirt supaya tak kalah saing dengan mahasiswa baru, tapi sewaktu bugil dan bercermin aku merasa sia-sia. Biasalah, eksperimen. Kalau tidak begitu mana bisa aku tahu. Setidaknya aku jadi mengerti apa yang tidak mungkin ku raih. Radiohead bisa saja datang ke Indonesia, tapi ada hal-hal yang akan aku tutup kemungkinannya. Ku tutup ruang mimpi itu dan ku buka lebar-lebar pintu di ruangan lainnya. Mungkin bukan sebuah "kebenaran" karena ku rasa rumit sekali. Namun sewaktu ku katakan ini pada diriku sendiri, ulang tahun ke 24 rasanya tidak terlalu jelek.


By: Liston Damanik
Justify Full

Senjakala kaum perokok


Ada seorang berkata begini kepadaku: “Setelah ku lihat Bang Liston, merokok ternyata nggak sejelek yang ku bayangkan.” Umat manusia sangat bersyukur kawanku akhirnya mendapat pemahaman yang penting ini. Mungkin di benaknya kadung tertancap imej tokoh antagonis dari film-film baheula yang entah mengapa memang jamak menjadikan rokok sebagai teman beraksi. Aku menjadi perokok bukan karena itu. Aku menghapus rokok dalam daftar terlarang dan skeptis dengan semua tabu karena ingin menjadi manusia yang bebas dan belajar menjadi manusia sophisticated.
Waktu masih ragu-ragu aku hanya berakting seolah merokok. Sambil jalan kaki sendirian sepulang dari kampus aku suka memonyongkan bibir seperti menghembuskan asap sambil mengapit rokok imajiner di sela jari. Perilaku bodoh ini tidak pernah ku maksudkan sebagai langkah awal. Namun, tanpa direncanakan, pada satu malam aku mencabut sebatang rokok milik kawan. Ku hisap di depan seorang teman yang berusaha untuk bersikap santai padahal aku tahu ia bakal bersaksi seumur hidup sebagai orang yang pertama melihat seorang Liston Damanik merokok.
Setelah itu ku lalui semua pengalaman yang ku rasa hampir semua perokok pernah lalui; mulai dari salah membakar filter rokok sampai heboh karena nikotin membuat kepala oyong.

Cowboy Is Death
Aku memang tidak berencana selamanya merokok. Sampai beberapa waktu yang lalu pun aku merasa bukan perokok berat. Konsumsiku memang tidak lebih sedikit dibandingkan Rocky Barus yang bangga karena tahan tidak merokok dalam sehari. Namun aku belum sampai menyaingi kebutuhan rokok Vinsensius Sitepu yang rokoknya paling sering aku embat itu. Aku bahkan membuat sedih Bono Emiry, temanku menghabiskan waktu di Rumah Buku, karena bisa meyakinkan dia bahwa sebentar lagi aku tidak akan menemaninya merokok.
Aku akan berhenti merokok bila tiba masanya. Masa muda akan sirna. Urgensi menjaga stamina untuk mendukung kinerja prima di lapangan dan ranjang sutra akan segera tiba. Aku harus menyudahi eksperimen dengan segala zat adiktif. Lagi pula candu, dalam bentuk apapun, tidak baik untuk calon ubermensch.
Apa boleh buat. Rupanya aku belum kenal diri sendiri. Sore kemarin aku mendapatkan diriku sangat bernafsu ingin merokok. Sambil memaki-maki karena honor belum turun, ku korek tas untuk mencari recehan. Mulai saat itu aku tahu merokok buatku bukan lagi sekadar urusan romansa muda-mudi atau perusahaan multinasional dan nasib petani tembakau versus fatwa haram MUI. Sepertinya ini akan jadi jalan yang penuh onak dan duri.
Sekarang, dengan angan-angan olah raga teratur dan pola hidup sehat yang belum juga bisa aku mulai, aku mencoba tidak menyesal masih jadi perokok. Baru-baru sebuah artikel di Business Week menyimpulkan kekalahan McCain dari Obama disebabkan ia tidak punya tim yang smoker. Obama, mantan perokok namun berhenti karena sepertinya memikirkan citra seorang presiden, punya sekumpulan orang kreatif nan supel yang punya sikap rock n rollkan? Mungkin ada dokter yang tidak menjadikan panjang umur sebagai tujuan utama. (Hahaha! Yang benar saja!). sementara McCain hanya punya sekumpulan manusia sok steril yang sangat hati-hati dan tidak punya penyambung sinapsis ketika pikiran mereka buntu. Aku yakin ini ada benarnya. Dokter juga ada yang merokok,
Tapi tak bisa ku bantah bahwa masa jaya rokok dan segala nilai-nilai yang mengitarinya sudah lewat. Dengan menyesal ku sampaikan kepada bocah-bocah di toilet sekolah atau warung kaki lima di luar sana yang sedang mencoba merokok karena ingin gagah-gagahan, kalian terlambat lahir. Sekarang perokok dianggap bagai pesakitan. Mulai dari masih disediakan ruang khusus untuk merokok, saat ini di Amerika para bos menyuruh karyawannya yang ingin merokok pada jam kerja untuk keluar dari bangunan. Karena punya hajatan rutin seperti itu, para pimpinan perusahaan juga menganggap karyawan yang perokok kalah produktif. Tidak peduli seberapa kreatifnya iklan rokok, ketika aku sedang merokok beberapa orang tetap melihatku seperti Geronimo dari pegunungan Amerika dan bukannya seperti koboi keren dari padang rumput di sebelah gunung itu.

Sialan! Sebenarnya aku mau bilang apa?


By: Liston Damanik

Friday, December 3, 2010

Mengapa aku menulis?


Mengapa aku menulis? Pertanyaan ini sepertinya penting, meskipun tanpa menjawabnya pun aku yakin tetap bisa membuat ratusan tulisan lagi sebelum mati. Kebetulan kami punya “company” yang bidang usahanya sering disebut para kritikus sambil marah-marah sebagai vanity press. Jadi, kalau dipaksakan, untuk buku saja, mungkin aku bisa membuat lima buah dalam tahun ini. (Kalahkan itu, Dan Brown! Hahaha!)

Aku pernah menjawab pertanyaan ini dalam sebuah tulisan. Kebetulan ada sebuah buku kecil kumpulan artikel dari para gergasi seperti Milan Kundera, Gabriel Garcia Marquez, dan Michel Foucault yang bisa aku masukkan dalam artikelku. Paling banyak ku ambil dari tulisan George Orwell karena di situ ia menyebut macam-macam motivasi penulis, mulai dari motif estetis sampai motif luhur seperti memicu transformasi sosial.

Itu sekitar tiga tahun yang silam. Sekarang makin jelas bahwa aku tidak memiliki motivasi-motivasi mulia seperti yang ku kutip itu. Ketika kesadaran terbuka, paradoks dalam diriku pun terkuak. Menulis ku anggap pekerjaan yang mulia karena menawarkan nilai-nilai yang ajeg dan bisa dipakai sebagai pegangan bagi pembaca atau minimal menjadi bahan pertimbangan. Itulah tuntutan sebuah tulisan. Kalau tidak begitu, mau jadi apa dia? Kadang tulisan lebih kejam dari pada otoritas moral manapun. Ketika menulis aku berperang dengan diri sendiri. Aku dipaksa menghapus kabut dalam kepala atau menyesuaikan diri dengan berbagai prinsip. Seringnya aku gagal. Apapun bentuk dan gayanya, menurutku seorang penulis punya tuntutan membuat karya yang membuat dirinya dapat menjadi semacam penipu atau badut. Bisa juga kalau ingin melihatnya sebagai kegiatan reflektif -syukur kalau si penulis bisa sampai percaya dengan tulisan yang dibuatnya. Aku tetap membuat tulisan-tulisan pendek dengan hati-hati dan ku simpan entah di komputer mana. Seperti membuang kotoran.

Dua tahun terakhir aku melenggang masa bodoh di atas pertanyaan ini. Aku menulis berita. Itu pun hanya kebagian jenis soft news. Jadilah aku wartawan flora dan fauna. Tiga tahun di pers kampus, setelah itu dapat tugas “meliput” tentang kura-kura brazil dan love bird. Mantap! Mama dan papa bangga pada ku.

Sebagai jurnalis, tulisanku tidak banyak berkembang juga. Terlalu banyak “tapi”, “sebenarnya”, atau kata-kata pamungkas yang mengisyaratkan bahwa si penulis ingin menciptakan sensasi atau kejutan. Caper! Terlalu kebarat-baratan karena sering mengambil ungkapan-ungkapan dari terjemahan bahasa Inggris. Dalam hal ini sepertinya aku tidak sendiri. Banyak sekali anak-anak peradaban barat di sekelilingku –kalau tidak bisa dibilang budak. Tulisanku juga terlalu monoton karena terpaku dengan formula menggabungkan kalimat panjang dan pendek dalam satu paragraf. Terlalu banyak berusaha melucu juga. Sebenarnya Douwess Dekker sudah kasih peringatan tentang bahaya rima dalam tulisan. Klimaksnya, akhir-akhir ini aku sering berpikiran bahwa aku tidak suka menulis, dan tentu saja karena itu setengah menolak disebut sebagai penulis. Aku rela bertele-tele membahas tentang defenisi penulis supaya aku tidak termasuk di dalamnya. Yah, nggak jelas begitulah.

Aku tidak sedang “berusaha untuk mencintai”, seperti apa yang ku lakukan sepanjang hidup kepada bentuk hidung dan kepalaku. Mungkin aku hanya suka mengeluh dan belum bisa melihat keseluruhan kosmik dunia menulis. (Siapa suruh bodoh!). Tapi, andai saja ada wartawan yang melihat lama waktu aku mengetik untuk tulisan ini, aku yakin dia bakal pesimis tulisan serupa bisa ku buat lagi sebulan kemudian. Bagiku menulis memang susah! Berputar-putar seperti gasing. Membaca berulang-ulang sampai bosan, kemudian dengan putus asa melepas begitu saja tulisan yang belum sempurna. Mungkin aku suka berkoar-koar mengadu duel. (Pada kenyataannya, memang hanya sedikit penulis hebat di kota ini). Di dalam diriku ini sebenarnya rasa frustasi sudah membumbung tinggi.

Sial. Apa aku berhenti saja dan fokus di bagian pemasaran? Tapi, untuk sementara tidak usah bilang-bilang ke klien kami tentang hal ini. Jujur, aku butuh uang dari itu. Anggap tulisan ini tidak pernah ada. Tapi mana bisa, ya? Mungkin ini salah satu yang aku suka dari menulis.

Ah, jadi kangen dengan cerpenku yang dibuat seorang kawan jadi alas obat nyamuk.


By: Liston Damanik

Tuesday, August 31, 2010

hanya ada aku

Malam ini untukmu khusus buatmu, di keramaian yang hampa, di tengah riuh mesin dan suara sumbang, disudut dinding putih beratapkan langit ditemani lilin kecil , malam ini hanya ada aku dan kamu, tanpa dia!... harapan ku, tapi selalu saja dirinya membayang-bayangi ku, mengingatkan keberadaan mu ditemani oleh nya meski ia jauh dan tak terlihat, dia membuat keluh lidah ini untuk mengucapkan kata suka,sayang,cinta dan kata "sahabat" adalah kata yg bisa menyembunyikan dan membiarkan rasa itu dipenjara, terikat tak berdaya dan tenggelam di makan waktu, malam itu...aku ucapkan "selamat ulang tahun"...

Aku tau semua ini salah, bahkan aku mengulangi kesalahan kedua kalinya dalam hidupku, tapi aku tak bisa berontak, hanya bisa pasrah dibunuh rasa salah,salah pernah menyayangi dan mencintaimu, andaikan yg pertama aku mampu melaluinya mungkin kamu tidak ada, tidak pernah dan tak kan pernah ada, tapi aku hanya manusia biasa, seorang pria yg ditakdirkan mencintai tapi tidak untuk dicintai. Aku hanya bisa bermimpi memiliki mu saat ini, berpura-pura menjadi sahabat berharap DIA melakukan kebodohannya dan membiarkan, melepaskan mu untukku...tapi hanya mimpi, hanya ada aku...tanpa kau dan dia, hanya ada aku...

Malam itu kau menantangku untuk membuktikan rasa diantara kita,kau yakin menang karena bersamanya, tapi aku berjuang sendiri menahan perih rasa terpendam dan membayangkan kau dan dia menikmati waktu berdua. Aku mampu bahkan aku sanggup menahan rasa perih ini untuk kedua kalinya, tapi saat ini hanya ada aku...tak ada yg lain,...hanya ada aku....

Ini semua hanya mimpi, berkali-kali aku mengatakan pada diriku sendiri bahwa ini semua hanya mimpi, aku tak pantas untukmu, aku hanya jeda dari sebuah cerita cinta kau dan dia, tak ada aku diantara kalian, hanya ada aku sendiri disini...hanya ada aku...

Sahabatku, maafkan aku jika membuatmu kecewa, tapi ini kenyataan pahit yg harus kuterima, aku tak ingin terulang kedua kalinya, aku harus pergi dan menjauh diantara kalian, dia yang terbaik untukmu dan anggap aku tak pernah ada diantara kalian bahkan dicerita kehidupanmu. Sampaikan kepadanya (kekasihmu) bahwa aku meminta maaf untuk kesalahan yg kuperbuat karena pernah mencintaimu.

Hanya ada aku, tak ada kau dan dia, hanya ada ku...





By: Abdul Haris Marpaung

Tuesday, June 8, 2010

GAZA, dalam perjalanan!


PERJANJIAN "PERDAMAIAN" ISRAEL-PALESTINA




22 November 1967
Security Council Resolution 242
Pengusul: Dewan Keamanan PBB
Hasil:
1. Penarikan mundur pasukan Israel dari wilayah Arab yang didudukinya.
2. Penghentian permusuhan semua pihak.
3. Pengakuan atas eksistensi, keutuhan, dan kemerdekaan politik negara-negara Timur Tengah.
4. Mengadakan daerah bebas militer sebagai jaminan bagi pelayaran bebas melalui perairan internasional.



5-17 September 1978
Perjanjian Camp David
Pihak terlibat
: Mesir-Israel-Amerika Serikat
Perjanjian Pertama:
1. Membentuk pemerintahan otonomi berdaulat di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
2. Perjanjian mengenai hubungan Mesir-Israel.
3. Penerapan "Prinsip Asosiasi" oleh Israel berhubungan dengan seluruh negara Arab tetangga Israel.

Perjanjian Kedua:
1. Menggarisbawahi dasar perjanjian damai 6 bulan kemudian, khusunya nasib Semenanjung Sinai.
2. Israel bersedia menarik tentaranya dari Sinai, mengevakuasi 4.500 warga dan mengembalikan Sinai ke Mesir.
3. Mesir melakukan normalisasi hubungan dengan Israel, menjamin bahwa Israel dapat melalui Terusan Suez dan jalur lainnya dengan aman.




30 Oktober 1991
Konferensi Madrid



13 September 1993

Perjanjian Oslo I
Pihak terlibat: PLO-Israel-Amerika Serikat
Tujuan: Menyerukan penarikan mundur pasukan Israel dari berbagai bagian di Jalur Gaza dan Tepi Barat dan memastikan hak Palestina untuk membentuk pemerintahan sendiri di dua kawasan melalui pembentukan Otoritas Palestina.
Hasil:
1. Jalur Gaza dan Tepi Barat dibagi dalam 3 zona, di bawah kendali Palestina, Palestina dan Israel, dan di bawah kendali Israel.
2. Kedua pihak menandatangani "Letters of Mutual Recognition".
3. Pembentukan pemerintahan Palestina yang mandiri di Jalur Gaza dan Tepi Barat.




28 September 1995
Perjanjian Oslo II
Pihak terlibat: Israel-Palestina
Lokasi: Taba, Sinai, Mesir.
Hasil:
Mengakui terbentuknya pemerintahan otoritas interim Palestina serta pembentukan Dewan Palestina yang merupakan hasil pemilihan.




7-17 Januari 1997
Perjanjian Hebron
Pihak terlibat: Israel-PLO (Yasser Arafat)-AS
Inti: Pemindahan pasukan Israel di Hebron
Hasil:
1. Dalam 10 hari, tentara Israel mundur dari 80 persen kawasan Hebron.
2. Pada 7 Maret 1997, Israel mulai menarik mundur pasukannya dari pelosok Tepi Barat.
3. Delapan bulan etelah tahap pertama, Israel mulai memasuki penarikan mundur tahap kedua.




23 Oktober 1998
Memorandum Wye River
Pihak terlibat: Israel-PLO-Amerika Serikat-Jordania
Tujuan: Menerapkan kesepakatan interim yang telah disetujui pada 1995.
Hasil:
1. Penarikan mundur pasukan Israel lebih lanjut dari wilayah kependudukan.
2. Aksi keamanan seperti memberantas organisasi teroris, melarang senjata illegal, dan mencegah pertikaian.
3. Kerja sama keamanan, seperti kerja sama bilateral, forensik, serta komite trilateral dengan Amerika Serikat.
Keterangan: Akibat meletusnya intifada Al-Aqsa pada September 2000 dan serangan Israel, perjanjian ini tak pernah terwujud.




4 sepetember 1999
Memorandum Sharm El-Sheik



11-25 Juli 2000
Perundingan Camp David
Pihak terlibat: Israel-Palestina-Amerika Serikat
Tujuan: Memecahkan status final konflik Israel-Palestina.
Hasil:
1. Sepakat berunding untuk mengakhiri konflik dan mencapai perdamaian abadi
2. Berkomitmen untuk meneruskan upaya persetujuan mengenai status permanen.
3. Negosiasi berdasarkan lingkungan bebas tekanan, intimidasi, dan ancaman kekerasan.
4. Menghindari aksi unilateral.
5. Amerika Serikat sebagai mitra penting dalam upaya perdamaian.




21-27 Januari 2001
Pertemuan Taba




24 Juni 2002
"Road Map for Peace"
Pihak terlibat: Amerika Serikat-Uni Eropa-Rusia-PBB
Tujuan : Menyelesaikan konflik Israel-Palestina.
Hasil:
Menyerukan terbentuknya negara Palestina merdeka yang hidup berdampingan dalam damai dengan Israel, dengan melakukan:
1. Fase I (mei 2003) Palestina menghentikan kekerasan, reformasi politik Palestina, Israel menghentikan pembangunan permukiman yahudi, Pemilu Palestina.
2. Fase II (Juni-Desember 2003), Konferensi Internasional untuk mendukung pemulihan Palestina.
3. Fase III (2004-2005), konferensi internasional kedua, penetapan status permanen, perbatasan, status Yerusalem, masalah pengungsi, dan permukiman Israel.




4 Juni 2003
Pertemuan Laut Merah (Red Sea)




1 Desember 2003
Perjanjian Geneva
Pihak terlibat: Israel-Palestina
Lokasi: Geneva
Tujuan: Memberikan Palestina hampir seluruh Tepi Barat dan Jalur Gaza dan bagian dari Yerusalem, dekat dengan yang ada sebelum perang 1967.




27 November 2007
Konferensi Annapolis
Pihak terlibat: Amerika Serikat-Palestina-Israel
Lokasi: Marryland, AS.
Tujuan: Menghasilkan dokumen untuk menuntaskan konflik Israel-Palestina sejalan dengan Peta Perdamaian dan terbentuknya segara Palestina merdeka.

Sumber: Kompas, 7 Juni 2010.





Beberapa masa yang lalu................





TEKS PERJANJIAN UMARIYAH DENGAN PENDUDUK KOTA AL-QUDS
(YERUSALEM, atau dikenal dengan kota ILIYA)



Bismillahirrahmanirrahim.
Inilah jaminan keamanan yang diberikan oleh hamba Allah, 'Umar, Amirul Mukminin, terhadap penduduk Iliya:

1. Aku memberikan jaminan keamanan bagi jiwa raga dan harta benda mereka. Untuk gereja-gereja serta tiang-tiang salib mereka. Yang sakit maupun yang sehat, serta seluruh tradisi kepercayaan mereka.

2. Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki atau dihancurkan, tidak akan dikurangi ataupun dirubah. Tidak akan dirampas salib maupun harta benda mereka, walaupun sedikit. Mereka tidak akan dimusuhi karena keyakinan agamanya, dan tidak akan diganggu atau diancam seorang pun dari mereka. Dan tidak diizinkan bagi bangsa Yahudi untuk tinggal bersama mereka di Iliya, meskipun hanya satu orang.

3. Terhadap penduduk Iliya, mereka harus membayar jizyah, sebagaimana pernah diberikan oleh penduduk kota-kota yang lain. Mereka juga harus mengusir Bangsa Romawi dan kaum Lushut.

4. Siapa yang di antara mereka keluar, dijamin aman nyawa serta hartanya, hingga mencapai tempat aman mereka. Dan siapa yang tetap tinggal di antara mereka, dia pun dijamin aman. Hanya saja ia dikenakan jizyah, sebagaimana yang diwajibkan terhadap penduduk Iliya.

5. Siapa pun, di antara pendudukIliya, bebas untuk pergi dengan jiwa dan hartanya ke pihak Bangsa Romawi. Dia boleh mengosongkan rumah peribadatannya, dan membawa salib mereka.

6. Mereka dijamin aman, atas jiwa raga, kuil-kuil, dan salib-salib mereka, sampai mereka tiba di tempat amannya.

7. Siapa yang sudah ada di dalam negeri, dari penduduk asli, sebelum terbunuhnya Fulan: yang mau boleh tinggal, dan harus membayar jizyah seperti yang dikenakan atas penduduk Iliya. Dan kalau mau, dia boleh pergibersama Romawi. Atau boleh juga dia kembali kepada keluarganya. Pada keadaan ini, tidak dipungut apa pun dari mereka, sampai bisa dipanen hasil jerih payah mereka.

8. Apa yang tertuang dalam surat perjanjian ini dilindungi oleh janji Allah, jaminan Rasul-Nya, jaminan para khalifah, serta jaminan kaum Mukmin, jika mereka memberikan jizyah yang dikenakan atas mereka.

9. Traktat perjanjian ini disaksikan oleh Khalid bin al-walid, 'Amru bin 'Ash, Abdurrahman bin 'Auf, dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Dan dituliskan pada tahun 15 Hijriyah.



Sumber: Kumpulan Surat Nabi saw dan Para Khalifah ar-Rasyidin

Thursday, March 11, 2010

sajak PALSU


Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, mereka pun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu. Sebagian
menjadi guru, ilmuwan atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima palsu. Mereka saksikan
ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus
dan hadiah-hadiah palsu, tapi diam-diam meminjam juga
pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri
yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakat pun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka
uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam
nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
dan palsu.





1998
Agus R. Sarjono

Wednesday, March 10, 2010

matinya TOEKANG KRITIK



“Every Joke is a tiny revolution.”

Ungkapan George Orwell ini mengilhami banyak hal, juga banyak orang, tapi bisa menyesatkan mereka yang berkuasa. Kata “revolusi” dalam ungkapan ini membuat mereka alergi terhadap humor. Padahal, revolusi yang dimaksud sang penulis Animal Farm itu tidak melulu berarti tumbangnya sebuah rezim. Hanya mereka yang paranoid yang mengartikannya sebagai ancaman.

Tapi begitulah nasib suatu rezim di dunia ini. Kehadirannya selalu memberi tempat bagi paranoia. Apalagi bila mereka terbiasa mendapat dukungan politik tanpa syarat dan membabi buta dari para panakawan di sekeliling mereka. Maka, sebuah senyum dari seberang pun dianggap sebagai sebuah ancaman.

Tak aneh bila premis Orwell, yang mengatakan bahwa dalam setiap humor terselip sebuah revolusi kecil, dimaknai dengan psikologi paranoid. Padahal, revolusi yang dimaksud adalah sebuah kesegaran dan mungkin juga kesadaran baru. Sebab humor pada dasarnya merupakan katarsis untuk melepaskan rasa frustrasi atau kepengapan hidup.

Peter L. Berger menyebut humor membebaskan jiwa manusia dari keterkungkungan yang membelenggu. Dia jadi katup yang mengalirkan kemampetan dan kepengapan jiwa. Humor tidak mengalirkan panji-panji yang mengibarkan ancaman bagi mereka yang duduk di tampuk kekuasaan.

Sejarah dunia memang tak pernah lepas dari paranoia semacam itu. Dari Nero, Hitler, Stalin, hingga Mao. Sejarah republik kita ini pun pernah mengenyam kekelaman itu. Toh, pada sisi lain, humor politik terus tumbuh seiring dengan sejarah paranoia itu sendiri. Proses adaptif kedua unsur kohesivitas ini menyebabkan setiap budaya punya medium kulturalnya masing-masing untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah melalui humor.

Di era Romawi, panggung parodi telah dikenal sebagai sarana hiburan rakyat untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah. Banyak satiris yang menjadi idola, seperti Lucilius dan Persius. Dalam budaya kita pun, ludruk, dagelan Mataram, dan goro-goro dalam wayang kulit telah dikenal sebagai medium untuk menyampaikan kritik dengan cara yang menghibur.

Tak aneh bila kemudian masyarakat menggemari kesenian ini karena membebaskan mereka dari kepengapan dan frustrasi. Dari kanal pembebasan itu adalah kritik yang renyah serta menghibur mengalir. Beberapa pakar Barat, seperti James L. Peacock, pun mengagumi budaya kritik yang telah kita miliki ini. Melalui Rites of Modernization, Symbolic and Social Aspects of Indonesian Proletarium Drama, dia menyimpulkan bahwa bangsa kita sejatinya sejak dulu telah mengenal budaya kritik dan tak merasa alergi. Hanya masyarakat yang tak ingin berkembang yang ogah menerima budaya kritik.

Mengacu pada akar budaya itu, kita heran bila sejarah negara ini sering diwarnai oleh pengingkaran. Kritik yang menggelitik justru dituding sebagai penghinaan. Padahal, kedua semantic tersebut memiliki makna dan motivasi berbeda. Mungkin untuk meluruskannya, Suhikayatno, tokoh dalam monolog Matinya Toekang Kritik karya Agus Noor, yang selalu dibawakan oleh Butet Kertaredjasa, berteriak lantang: “Saya mengkritik bukan karena sirik. Tapi saya ingin semua menjadi lebih baik.”

Ironisnya, ketika tatanan kehidupan telah menjadi sempurna, si toekang kritik justru meninggal di atas kursi goyang karena tidak ada lagi yang bisa dikritik. Monolog ini jelas menyuguhkan postulat bahwa kritik bisa mati dengan sendirinya bila penguasa telah berperan secara ideal. Tentu ini hanya angan-angan. Sebab kesempurnaan itu sendiri sebuah utopia.

Era reformasi saat ini telah memberikan jawaban bagi kegelisahan ini. Setidaknya, pemerintah tak lagi bisa menganggap dirinya sebagai sebuah menara sacral yang tak tersentuh. Kita pun dapat kembali ke jati diri bangsa yang akrab dengan budaya kritik dan tak alergi terhadapnya. Bahkan pemerintah turut menggemari humor politik. Lihat saja berbagai humor yang dilakukan para menteri kabinet. Dari ancaman saling gugat hingga ada uang swasta yang numpang lewat di kas pemerintah.

Jadi, bukan performa pemerintah yang baik saja yang dapat mematikan tukang kritik, melainkan juga kondisi masyarakat yang dewasa dan baik. Sebab, jika kondisi dan kedewasaan masih amburadul, justru pemerintahlah yang gemar mengumbar humor politik dengan mengancam somasi kelompok parody yang gemar membuat orang sakit perut, si tukang kritik pun menjadi mati. Setidaknya berganti format.

Bentuk humor politik bisa beragam. Persyaratan presiden harus S-1 yang termuat dalam draf RUU Pilpres juga dapat dimaknai sebagai humor politik atau kritik dari pemerintah terhadap masyarakat yang kurang memberi tempat bagi pendidikan. Bangsa yang besar memang bangsa yang bisa menertawakan dirinya sendiri. Kita tentu gembira bahwa pemerintah pun bisa menebar humor politik. Sebab, menurut Plato, para dewa pun menyukai humor.


Oleh: Budi Gunawan
Pemerhati Kebijakan Publik
Gatra, 4 April 2007

Thursday, February 25, 2010

MENUJU negara SEOLAH-OLAH


SEBUAH kenyataan yang mengkhawatirkan, bahkan sangat mengkhawatir, sedang menimpa negara ini. Kenyataan itu ialah Indonesia menuju negara seolah-olah. Seolah-olah itu terjadi dalam banyak hal dan celakanya menimpa berbagai aspek berbangsa dan bernegara yang strategis. Lebih celaka lagi, semua yang seolah-olah itu lama-lama diterima sebagai yang nyata, bahkan yang benar.

Sebutlah misalnya urusan perang melawan mafia peradilan. Cukup dengan membentuk sebuah tim, dan cukup sekali tim itu inspeksi mendadak ke ruang sel Ayin, mafia pun tumpas. Tepatnya, seolah-olah tumpas. Contoh lain menyangkut kinerja 100 hari pemerintahan. Dari sisi pemerintah suaranya merdu bahwa target tercapai, bahkan ada yang mengklaim mencapai 100%. Tapi dari sisi masyarakat suaranya sumbang, yaitu semua itu hanya seolah-olah tercapai. Puncaknya ialah berkembangnya kelakuan elite yang seolah-olah bertanggung jawab, padahal ramai-ramai cuci tangan.

Lihatlah soal pengucuran dana talangan Rp6,7 triliun kepada Bank Century. Saat pengambilan keputusan bailout, para pejabat Gubernur Bank Indonesia ramai-ramai ikut rapat. Komisi Keuangan di DPR juga ikut-ikutan memberikan dukungan atas keputusan tersebut. Kini, giliran kasus itu dipermasalahkan lewat Pansus Angket Bank Century, semua pemimpin ribut dan ironisnya ramai-ramai pula mereka cuci tangan.

Begitu pula halnya menyangkut berbagai kebijakan seperti pembelian pesawat kepresidenan, pengadaan mobil dinas pejabat negara, dan pembangunan pagar Istana Negara. Ketika kebijakan itu dipersoalkan di ruang publik, para pengambil keputusan itu satu per satu lempar batu sembunyi tangan. Siapakah yang bertanggung jawab, hanya seolah-olah ada.
Seolah-olah sebab tak seorang pun yang menampakkan batang hidung ketika kebijakan itu dipersoalkan. Setelah publik melupakan kasus itu, barulah mereka muncul dengan gagah perkasa memberi penjelasan. Celakanya, penjelasan itu diwarnai keseleo lidah, hingga tiga kali menyebutkan angka yang berbeda untuk harga mobil dinas.
Yang lenyap ialah watak kesatria. Itulah kualitas berani bertanggung jawab, berani mengakui kesalahan dengan jiwa besar. Tegar membongkar topeng sendiri, membongkar dunia seolah-olah. Itulah kualitas yang semestinya dimiliki elite yang disebut pemimpin. Tanpa pemimpin dengan kualitas itu, negara ini akan menuju negara seolah-olah. Negara dengan anomali, yaitu negara tetap berjalan sekalipun seolah-olah punya pemimpin.

mediaindonesia.com

Saturday, November 21, 2009

EPITAPH PENYAIR




Dia mencoba bernyanyi, bernyanyi
untuk melupakan
Kenyataan hidupnya yang dusta
dan untuk mengingat
kehidupan dustanya yang nyata.



Oleh: Octavio Paz
Horison, November 2004

Sunday, November 15, 2009

Orang Hilang Ada Orang Pecah
















Ada orang hilang. Tapi ada orang pecah juga. Presiden yang telah membunuh demokrasi, jatuh. Tangan dan lehernya mengeluarkan gergaji. Tapi dewan perwakilan rakyat harus dibuat lagi. Seperti membuat matahari dari daun pisang. Ada orang hilang, kata Tita. Tanah telah memuntahkan tubuhnya kembali. Sepatu tentara berjatuhan dari mulutnya. Ada orang hilang. Gedung parlamen berbau mayat, dapurnya juga berbau mayat. Presiden harus dibuat lagi. Kabinet harus dibuat lagi. Tapi ada orang hilang, kata Tita. Matanya ditutup politik yang terbuat dari gergaji. Tanah muntah. Tak bisa lagi menumbuhkan tanaman. Ada orang pecah. Tanaman muntah. Tak bisa lagi berbuah. Hutan membakar dirinya sendiri, seperti apa di jari-jemari tanganku. Bangunan juga telah membakar dirinya sendiri. Ada orang dibakar, terbakar. Ada orang diperkosa. Ada negeri diperkosa juga. Tanah diperkosa. Tita, ada orang hilang, seperti aku menculik diriku sendiri semalam. Parlemen harus dibuat. Mahasiswa menyerahkan badannya di depan tombol diktaktor. Tapi berbisik-bisik … ada orang hilang. Tema-tema pecah, seperti bayangan negeri ini. Tapi berteriak juga: ada orang hilang! Mayat yang gosong. Kepercayaan yang telah menyimpan mayat. Ada bahasa yang mengancam lehermu. Kepercayaan yang pecah. Ah, apa kabar amerika? Tanah yang pecah juga oleh kekerasan bahasa politik. Anak-anak tak bisa minum susu, tak bisa sekolah. Buku-buku mahal. Padi tak berbuah lagi. Ada gunung meletus. Rakyat harus dibuat. Demo harus dibuat. Ada tempat penyiksaan. Tulang-tulang digali dari lehermu. Pintu parlemen digergaji. Tita, ada orang hilang. Tapi ada orang pecah juga, seperti bayangan negeri ini. Ada matahari, lembut, terbuat dari daun pisang. Kemari. Dengar. Ini negeri untukmu. Jangan begitu memandangku. Aku mayat. Mayat politik. Yang pernah diculik. Di siksa. Jangan menguburku seperti itu, seperti mengubur negeri ini. Jangan. Kemari. Dengar. Ini tanganku. Masih hangat. Seperti pembalut politik yang telah menutup matamu. Kemari. Mari. Masih ada seratus tahun lagi di sini, ini, di tanah ini.


Oleh: Afrizal Malna
1998
Horison, September 2000

Blog Archive