SEBUAH kenyataan yang mengkhawatirkan, bahkan sangat mengkhawatir, sedang menimpa negara ini. Kenyataan itu ialah Indonesia menuju negara seolah-olah. Seolah-olah itu terjadi dalam banyak hal dan celakanya menimpa berbagai aspek berbangsa dan bernegara yang strategis. Lebih celaka lagi, semua yang seolah-olah itu lama-lama diterima sebagai yang nyata, bahkan yang benar.
Sebutlah misalnya urusan perang melawan mafia peradilan. Cukup dengan membentuk sebuah tim, dan cukup sekali tim itu inspeksi mendadak ke ruang sel Ayin, mafia pun tumpas. Tepatnya, seolah-olah tumpas. Contoh lain menyangkut kinerja 100 hari pemerintahan. Dari sisi pemerintah suaranya merdu bahwa target tercapai, bahkan ada yang mengklaim mencapai 100%. Tapi dari sisi masyarakat suaranya sumbang, yaitu semua itu hanya seolah-olah tercapai. Puncaknya ialah berkembangnya kelakuan elite yang seolah-olah bertanggung jawab, padahal ramai-ramai cuci tangan.
Lihatlah soal pengucuran dana talangan Rp6,7 triliun kepada Bank Century. Saat pengambilan keputusan bailout, para pejabat Gubernur Bank Indonesia ramai-ramai ikut rapat. Komisi Keuangan di DPR juga ikut-ikutan memberikan dukungan atas keputusan tersebut. Kini, giliran kasus itu dipermasalahkan lewat Pansus Angket Bank Century, semua pemimpin ribut dan ironisnya ramai-ramai pula mereka cuci tangan.
Begitu pula halnya menyangkut berbagai kebijakan seperti pembelian pesawat kepresidenan, pengadaan mobil dinas pejabat negara, dan pembangunan pagar Istana Negara. Ketika kebijakan itu dipersoalkan di ruang publik, para pengambil keputusan itu satu per satu lempar batu sembunyi tangan. Siapakah yang bertanggung jawab, hanya seolah-olah ada.
Seolah-olah sebab tak seorang pun yang menampakkan batang hidung ketika kebijakan itu dipersoalkan. Setelah publik melupakan kasus itu, barulah mereka muncul dengan gagah perkasa memberi penjelasan. Celakanya, penjelasan itu diwarnai keseleo lidah, hingga tiga kali menyebutkan angka yang berbeda untuk harga mobil dinas.
Yang lenyap ialah watak kesatria. Itulah kualitas berani bertanggung jawab, berani mengakui kesalahan dengan jiwa besar. Tegar membongkar topeng sendiri, membongkar dunia seolah-olah. Itulah kualitas yang semestinya dimiliki elite yang disebut pemimpin. Tanpa pemimpin dengan kualitas itu, negara ini akan menuju negara seolah-olah. Negara dengan anomali, yaitu negara tetap berjalan sekalipun seolah-olah punya pemimpin.
mediaindonesia.com
No comments:
Post a Comment