Menghitung hari saat divonis sudah muncul kehidupan baru di dalam rahimku. Aku sangat senang! Aku tidak bisa melompat-lompat kegirangan. Bisa saja kehidupan baru itu akan marah dan dia tidak jadi hidup. Oh, tidak. Aku ingin dia tetap hidup.
Perjalanan kehidupannya membutuhkan entah berapa kali kunjungan. Aku memohon-mohon kepada Tuhan agar kunjungan yang ke empat kalinya kehidupan itu tercipta. Ah, Tuhan tidak pilih kasih. Tapi, dia memang sudah menjadwalkannya. Dan aku sangat senang!
Setiap pagi aku sapa. Mungkin aku gila berbicara sendiri. Tapi, dia bisa mendengarkanku lewat aliran darahku yang mengalir ke dirinya. Aku mengirimkan begitu banyak cerita tentang indahnya dunia. Belum sempat dan aku memang takut untuk menceritakan pedihnya dunia. Biarlah dia tahu dengan sendirinya bagaimana dunia yang akan dipijaknya. Aku hanya menunggu saja.
Ah, ada kunjungan lagi! Katanya biar nanti dia tahu di mana pintu yang seharusnya dia lewati untuk keluar nanti. Tak apa lah jika kunjungan-kunjungan berikutnya untuk kebaikan dirinya. Aku menerima saja kunjungan-kunjungan itu. Aku juga sangat senang.
Kemudian, pintu itu akan terbuka dengan perlahan-lahan. Sakit. Tapi, aku menanti. Aku membiarkannya menganga berhadapan dengan Tuhan dan darahdagingnya. Aku menyapanya. Dia menyambutku. Kami berpelukan. Sementara pintu itu terus mengalirkan pesan-pesan yang pernah aku ceritakan. Tanpa henti. Dan, aku mati.
Pesan untuk anakku:
Cukup satu pintu saja yang kamu kunjungi nanti, Nak. Namanya V. Itu saja.
No comments:
Post a Comment