Showing posts with label cerita tentang kita. Show all posts
Showing posts with label cerita tentang kita. Show all posts

Thursday, April 14, 2011

tentang HARI INI di 14 April 2011

Tuan, hari ini tidak ada cerita tentang kita berdua. Hari ini kita seperti lupa ingatan, lupa diingatkan, dan lupa mengingat sejarah yang sedang saya tulis. Tapi, saya pikir kita tidak seperti orang-orang lain yang selalu punya satu hari sakral bagi mereka yang awas saja jika dilupakan. Sayangnya, tidak berlaku pada kita. Yang ada kita hanya sedikit kaget kalau ternyata sudah banyak cerita yang kita tulis dan sekarang sudah menjadi sejarah. Bahkan beberapa detik yang lalu adalah sejarah.

Tadi malam adalah malam yang manis, Tuan. Awalnya memang pahit karena saya begitu terpukul Tuan mengetahui saya berbohong beberapa kali selama ini. Tapi, Tuan, itu semua saya lakukan karena saya tidak ingin Tuan marah. Jangan memarahi saya, Tuan. Sempat senyum itu lenyap dari wajah saya setelah mendengar pengakuan dari Tuan. Bahkan Tuan saya tinggalkan tanpa kata penutup. Saya sedih. Ingin berbalik memeluk Tuan. Tapi, saya sudah cukup malu. Tuan pasti tidak akan percaya lagi dengan saya. Saya sudah berbohong. Tidak ada saya berselingkuh, Tuan. Tuan tahu itu. Saya hanya berbohong kecil, Tuan. Cukup Tuan saja yang diberikan Tuhan untuk saya. Maafkan saya, Tuan, karena sudah berbohong.

Saya pikir Tuan tidak peduli dengan kegelisahan saya setelah pertemuan tadi malam. Ternyata Tuan segera datang kepada saya agar saya tidak terus cemberut. Tuan mengatakan kalau saya memang jujur dan tidak masalah jika pernah berbohong kecil. Tuan minta saya tersenyum kembali. Saya tersenyum dan Tuan bilang kalau Tuan percaya saya. Hati saya menari-nari, Tuan. Begitu saja lepas dan saya merindu.





Ah, Tuan, saya sudah melewati banyak waktu bersama Tuan. Jangan pernah pergi, Tuan. Jangan pernah pergi.

Wednesday, January 5, 2011

Kemarin itu senyum saya kembali

Kemarin saya bertemu dengan Romo setelah lebih dari seminggu ditinggal pergi. Detik-detik saat melangkah menuju pintu studio Romo, seperti ada salah satu degupan jantung atau beberapa mungkin degupan yang melenceng dari aturan detak itu sendiri. Saya gugup! Pada saat sudah berdiri di pintu yang terbuka itu, dan...wuaaaaaaaaa..saya tidak punya kata-kata selain senyum yang kembali menyapa dan berhamburanlah rindu itu dari atas langit-langit studio. 

Banyak cerita yang mengalir begitu saja dengan dewasa. Bahkan saat saya menulis sekarang ini, saya dilanda kebingungan untuk berkata karena senyum saja sudah cukup mewakili cerita kemarin. Dan, akhirnya saya percaya kalau rindu itu memang ada, bukan cerita bohong!



Mari tersenyum dan merindu..

Wednesday, December 22, 2010

Diksi kita beda, Romo!! Jadi, berhentilah menertawakan perempuanmu ini, hiks..




Mana saya tau kalau dia ternyata bisa juga hmm...menulis (uweeekkk..) dengan diksi yang bukan seperti saya. Pertama bertemu kira-kira hampir dua tahun kurang dua puluh tujuh hari yang lalu, saya pikir dia hanya seseorang pecinta komik Doraemon dan Shinchan. Ternyata dia punya juga beberapa tulisannya yang akhirnya membuat saya berpaling ke hatinya. Sialan bukan? Bukan ah! Hahahaha...

Sudah saya bilang kalau kami ini beda. Tapi, dia tetap saja ngotot untuk meminta saya menulis lirik lagu untuk musiknya. Ok, saya tulis. Yang terjadi kemudian adalah semuanya di-REJECT!!!!!! Kesal saya. Dia bilang liriknya masih kurang...apaaaaa gitu, kok seperti boybaaaaand...gitu (padahal saya bukan pecinta boyband, saya pecinta KOOOOOORRRRNNNN), dan semua protes yang dia selancarkan dari otaknya DITAMBAH LAGI dia tak segan-segan menertawakan saya yang lucu sangat ini. Semakin kesal saya!!!

"Gak mau bikin lirik lagi!! Yuni coret dari daftar resolusi tentang bikin lirik lagu!!"
"Hahahahah...hehehehehe....hahahahaha..."
"Iiiiiihhhh...kok ketawa sih???? T_T"
"Hahahahahaha...lucu aja, Ayank!"





Muncung saya maju kurang dari lima sentimeter.

Dia hanya lagi malas mikir dan malas nulis. Padahal diksi dia lebih keren (Tuhan, ampuni saya karena sudah mengatakannya KEREN!!! \m/ hahahaha...) daripada saya. Diksi dia lebih dominan metafora, sedangkan saya lebih dominan ke kalimat jernih. Sementara dia ingin banyak metafora dalam lirik lagunya, tapi metafora yang jernih, katanya. Bagaimana sih???? Bingung saya. Dia itu cerewet. Kesal saya ah T_T

Pokoknya saya tidak sudi buat lirik lagu lagi. Saya mau nulis untuk saya sendiri. Sekarang saya lagi doyan jadi pengamat dan penikmat karyamu saja, Romo. Pikir dan tulis sendiri yak! lirik lagunya!! hahahahaha...

Saturday, December 11, 2010

..is waiting


tuuuuttt... tuuuuttt... tuuuuttt... tuuuuttt... tuuuuttt... tuuuuttt... tuuuuttt... tuuuuttt... tuuuuttt... tuuuuttt...

nomor yang ada tuju saat ini tidak dapat dihubungi. cobalah beberapa saat lagi..

Tuesday, August 31, 2010

escape because of you (part 2)


Orang gila berkata kalau dia tidak gila. Baginya yang gila itu adalah mereka yang mengatakan dia gila. Bagi mereka sudah jelas-jelas dia yang gila karena mereka tidak gila. Untuk apa semua itu? Hanya mencari sebuah pengakuan dan status belaka agar punya tempat di muka bumi ini. Padahal di hadapan Tuhan semua itu sama saja bahkan tak ada artinya.

Di usia 17 tahun saat aku mengalami siklus keakuan yang bergejolak. Mulai mengenal lingkungan yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Berlomba-lomba dalam kata-kata untuk mencari pengakuan dini. Persaingan di sana-sini membuatku berpikir apa itu penting. Rasa ingin mengenal berbagai orang hebat menjadi candu tersendiri dalam diri ini. Yang membuatku heran adalah bagaimana bisa itu semua menguasaiku dalam sesaat?

Banyak yang aku korbankan. Aku tegaskan, ini bukan pengorbanan. Tapi, sensasi yang seolah-olah menjadi pengorbanan yang sia-sia. Sangat tidak berarti. Aku merasa sombong sejagat. Pernah sampai aku merasakan orgasme bagaimana menjadi Tuhan. Aku kutuk Dia sampai aku bosan. Apa peduliku dengan dosa kutuk mengutuk Dia. Dulu, yang aku pikirkan hanya “aku puas” dengan ketinggian pada tebing nafsuku. Santai tak bertepi, santai tak sesaat.

Aku ingat-ingat kembali bahwa saat itu aku sadar dengan semua keputusan. Aku belajar kembali untuk bersujud dan mengadah memohon. Tapi, mengapa hanya sesaat? 3 tahun dalam kepuraan-puraan untuk menyenangkan hati orang dan ingin dianggap hebat. Untuk apa semua itu? Sudah aku katakan, aku sering bermain-main dengan waktu hingga akhirnya menjadi seperti ini.

3 tahun dalam kepuraan-puraan yang aku campur menjadi sebuah pengkhianatan. Aku lakukan itu. Aku mencintai pengkhianatan pada saat itu. Tidak akan ada satu orang pun yang bisa menghalangiku dalam pengkhianatan besar atas nama manusia-manusia nafsuku dan juga Dia. Sekali, dua kali, tiga kali, ntah sudah berapa kali, tiada puasnya. Terus dan terus aku lakukan seperti aku menganggap begitulah hidupku yang seharusnya. Bagaimana bisa?

Pengkhianatan!!!
Aku berkhianat!!!
Itu yang aku inginkan, Dunia.

Aku katakan kepada perempuan itu, kira-kira saat itu aku berusia 20 tahun, aku ingin hidupku hancur sehancur-hancurnya. Dia berkata, lakukan saja. Sebelum dia mengatakan begitu, aku sudah melakukannya. Aku menjual diri dalam suara atas nama cinta dan Tuhan. Aku menipu tentang kebutuhan agar aku bisa bersenang-senang. Aku bersandiwara tentang air mata agar aku dibebaskan dari tuduhan. Aku melepaskan semua simbol agar aku bisa berlari terus meninggalkan Tuhan. Sangat menyenangkan.

Usia 21 tahun aku masih enggan meninggalkan pengkhianatan. Aku pikir aku masih ingin merasakannya lagi untuk yang terakhir kalinya. Setelah ini, pikirku, aku tidak bisa lagi merasakan pengkhiantanku yang bertubi-tubi itu lagi. Tuhan pun memberi kesempatan itu kembali dan aku pun tertawa penuh kemenangan.

Aku buntu. Tidak punya lagi tangan-tangan yang ingin memegangiku. Semua sudah tidak peduli dan akhirnya membenciku. Aku dianggap kecil oleh mereka. Seperti titik putih di dinding putih, tak dianggap ada. Aku berlari dalam kesendirianku untuk menghadapi sendiri yang selalu pasti. Aku terus berlari dan berlari hingga saat itu aku benar-benar jatuh.

“Jadilah cerminku walau pecahannya akan melukaiku..”
“Ya..”

Masih di usia 21 tahun, aku membuka pintu yang baru. Pintu yang sudah lama disuguhkan dengan tawaran yang sangat sederhana, melebur. Aku tinggalkan keping-keping luka yang membekas. Aku kumpulkan kembali remah-remah nafas kehidupan, melebur. Dunia itu akhirnya datang. Tapi, Tuhan masih mengujiku dengan kesukaanku yaitu pengkhianatan. Dia merayu dengan semua keindahan dari pengkhianatan. Sempat aku tergoda. Aku katakan kepadanya cukup ini yang terakhir kali aku menjual diriku dalam suara atas nama cinta dan namamu. Aku marah! Aku robek wujudmu yang selalu aku khayalkan. Aku katakan kepadamu kalau aku berhenti mencintaimu!

Kamu diam saja. Aku akhirnya diam juga sepertimu.

Saat aku ingin sembuh, saat itu lah kamu membalas dendammu kepadaku. Kamu kembalikan manusia-manusia itu dalam kehidupanku dengan membawa perbekalan agar bisa membunuhku. Aku tahu cara yang kamu pakai tapi aku tidak bisa lepas dari perangkapmu. Aku menangis, bukan kamu yang mendengarkannya. Aku ingin melepaskan renggutan pelukanmu, justru kamu semakin mencekikku. Aku ingin berlari, kamu menahanku dengan siksa batin. Aku mati rasa, kamu pun senang.

Ego yang sudah membesarkanku datang terus untuk menakut-nakutiku. Darinyalah aku mengalami perselisihan dengan dunia baruku. Dunia yang baru saja melebur dengan duniaku, tiba-tiba saja ingin pergi karena muak dengan sesuatu yang mengasuhku. Aku tidak ingin. Berkali-kali aku menghamba kepada dunia agar aku diberi kesempatan untuk belajar. Awalnya tidak, setelah dia diam akhirnya dunia mengiyakanku. Aku melebur kembali. Aku bernafas kembali. Saat itu aku sudah berusia 22 tahun.

Tiga kali aku lepas dari dunia, tiga kali aku ditariknya kembali, dan sekarang aku sembuh. Melepaskan sakit yang semakin sakit begitu saja. Aku dulu bermain-main dengan waktu. Sekarang aku membutuhkan waktu itu untuk menemaniku menjadi sahabat di kala egoku menggeliat.

Ini tanganku. Ini tangannya. Aku kembali kepada cinta dan juga Tuhan yang seharusnya aku pahami untuk membesarkan aku. Bagaimana bisa malam ini tanpa terasa air mata itu mengalir kembali? Air mata kebahagiaan yang bukan jatuh sendiri tapi ditemani oleh pelukan kasih. Malam ini, di saat aku berusia 22 tahun 9 bulan, aku merasakan sembuh yang meluruh bagai peluh. Aku bebas. Aku bebas. Aku bebas.

“Kebersamaan itu tidak akan pernah mati, Sayang.”




--TAMAT--

Saturday, August 28, 2010

escape because of you ( part 1)


Tiba-tiba aku merasa terkejut saat melihat kalender. Sudah banyak waktu berlalu. Kali ini aku bukan sedang mengingat tentang kematian. Tapi, tentang sudah seberapa jauh aku berlari dari kamu, dia dan mereka. Aku bukan berjalan, tapi berlari. Sebegitu pengecutnya aku kepada dunia karena terus bersembunyi dari yang ada.

Waktu kecil, tidak pernah terpikirkan olehku tentang aku yang sekarang. Sekarang, aku berpikir bahwa tidak mungkin bisa lagi mengubah masa lalu. Tentang masa depan, kondisinya sama dengan ketika waktu aku kecil yang tidak pernah terpikirkan bagaimana aku yang sekarang. Dan nanti di saat masa depan itu menjadi “sekarang”, tetap tidak bisa mengubah apa pun tentang aku yang sekarang yang nantinya menjadi masa lalu.

Aku. Bukan saatnya untuk berandai-andai dengan waktu. Sudah banyak yang berubah. Ada banyak yang masih aku ingat dari perjalanan panjangku. Tapi, bagian yang aku lupa pun juga ada banyak. Sekarang, aku ingin bagian yang tidak ingin aku ingat agar bisa aku lupakan. Dan aku akan sangat senang jika melakukannya dengan tanpa sadar.

Di usiaku yang 17 tahun, dulu, aku sedang mencoba untuk mengambil keputusan besar. Di saat itu lah aku sudah ditampakkan bagaimana konfrontasi itu akan terjadi, harus terjadi dan tidak harus akan terjadi. Keputusan yang pada saat itu aku yakini aku ambil dari hati tanpa ada pengaruh dari siapa pun. Dan sekarang, saat semua itu berlalu, aku berpikir bahwa pada saat itu aku mengambil keputusan bukan dari hati, tapi karena pengaruh dari orang lain.

Setiap mengingat tentang keputusan itu, aku merasa bahwa sepanjang usiaku ke depan yang dimulai dari 17 tahun itu akan terus dibayang-bayangi ntah sampai kapan kecuali aku melupakannya dengan tanpa sadar. Keputusan itu yang membuatku menjadi bukan siapa seharusnya aku menurutku. Tapi, siapa seharusnya aku menurut orang lain. Keputusan yang sudah mengenalkan aku bahwa dunia ini juga ada yang tidak nyata sehingga aku pun bermain di alamnya yang membuat aku luka yang tidak nyata. Aku yang sekarang tidak bisa mengubah masa lalu. Aku hanya bisa membiarkannya lewat begitu saja.

Aku “sakit”. Sudah banyak tangan manusia yang aku tarik agar mau memegangi kedua tanganku yang tak bisa berfungsi untuk menghadapi diri ini, terlepas begitu saja sesuai kemauanku. Aku tarik sedapat yang aku bisa. Tapi, setelah itu aku tidak mengerti mau aku apakan tangan-tangan manusia itu setelah bisa memegangi kedua tanganku. Karena aku tidak mengerti akhirnya aku lepas begitu saja tangan-tangan mereka dan kemudian aku mencari lagi tangan-tangan manusia yang lain. Sampai seterusnya hingga aku tetap tidak mengerti apa maksud dari semua yang sudah aku lakukan, tiba-tiba aku berhenti. Aku lelah mencari. Aku ingin dicari dengan tangan manusia yang seharusnya aku cari. Aku masih diam. Tidak bernafas mungkin. Aku tidak menyangka ternyata bukan tangan yang akan memegangi kedua tanganku, tapi duniaku yang akan saling melebur dengan dunianya. Bukan siapa-siapa, masih manusia. Hanya saja dia membawa dunia yang berbeda dibandingkan tangan-tangan manusia yang lain. Saat itu aku sudah berusia 22 tahun.

Jika aku menghitung waktu, ternyata aku sudah melewati 5 tahun yang penuh dengan keputusan berat. Padahal sebelum aku berusia 17 tahun pun aku punya perjalanan yang lain yang tidak bisa aku percaya tapi harus aku percaya karena sudah terjadi.

Usia 7 tahun yang begitu dini untuk berpikir jauh membuatku untuk terus berhadapan bahwa inilah permainan. Hidup itu adalah permainan. Aku tidak percaya bahwa sepanjang 10 tahun ke depan setelah usiaku 7 tahun, aku terus mempermainkan hidupku. Kali ini hanya hidupku. Lima tahun berikutnya kehidupan orang lain yang aku permainkan dengan tidak memperdulikan kehidupanku karena aku sudah mengambil keputusan di usia 17 tahun. Berapa tahun semuanya aku bermain-main dengan keputusan hidupku? 17 tahun.

Di saat aku “sakit” aku tidak bisa memaafkan diriku. Aku kira sekarang ini aku sudah hampir sembuh karena aku sudah mulai bisa memaafkan diriku. Aku tahu kalau bukan aku manusia yang paling menderita di dunia ini. Aku juga tidak menginginkan menjadi manusia yang menderita maka dari itu aku belajar untuk memaafkan. Kadang-kadang aku masih sering bermain-main dengan waktu sampai akhirnya aku tidak sadar waktulah yang mempermainkan aku. Untuk apa aku marah? Tidak ada guna. Akhirnya aku mengingat-ingat lagi keputusanku di usia 17 tahun.

Dunia yang melebur ke duniaku sampai sekarang masih tetap melebur. Kadang-kadang meledak dengan sendirinya saat aku mencoba-coba untuk bermain api.


Bersambung...

Friday, June 11, 2010

KECUPAN TERAKHIR


Sering ku diam-diam menatapmu, hanya ingin memastikan kalau saat ini aku masih hidup untukmu. Padahal aku tahu kalau saat ini aku sudah tidak punya banyak waktu lagi untuk bisa lama bersamamu. Tapi aku yakin hanya dengan menatapmu sekali lagi, aku akan tetap hidup untukmu. Walaupun aku tahu saat ini juga telah habis waktu hidupku untukmu.

Tuesday, April 13, 2010

tentang HARI INI di 14 April 2010


Hari ini adalah tentang semua hari yang saya lalui bersamamu. Hari ini adalah tentang semua emosi yang saya ciptakan karena kamu. Hari ini juga adalah tentang semua yang ada di dunia saya dan di duniamu tanpa ada batas. Ketika marah bisa melebur bersama cinta, maka saya akan tetap di sampingmu untuk selalu memberi tangan ini saat kau mulai memejamkan mata. Menggenggam erat seakan tidak ingin ada lagi tangan yang pergi meninggalkanmu. Saya masih di sini untuk setia mendengarkan semua musik-musik duniamu. Sekarang..di dalam ruangan ini..ada musik yang sedang melayang melintasi paruh dunia. "Talk about April 14th" berbisik pelan di kedua telinga. Saya memelukmu untuk mengucapkan terima kasih atas nada-nada yang bermain ini. Mereka bermain untuk saya melalui kamu. Tak henti-hentinya saya tersenyum bahkan meneteskan air mata bahagia. Kamu pun ikut tersenyum atas air mata bahagia untuk selamanya. Kita berdua dengan ditemani puluhan peri. Mereka bercerita tentang hari ini yang akan menghadapi hari esok dan tidak melupakan hari kemarin. Kita mendengarkan mereka berceloteh. Mereka banyak sekali bercerita. Sementara kita, diam dalam tawa dan tawa dalam diam.


Melihat kamu tertawa, saya bahagia.
Melihat kamu tidak tertawa, saya tidak bahagia.
Melihat kamu terpaksa tertawa, saya terpaksa bahagia.
Melihat kamu pura-pura tertawa, saya pun pura-pura bahagia.

Friday, March 12, 2010

tentang HARI INI di 14 April 2009


Sebelum 14 April 2009:
Saya tidak mengenal satu pun laki-laki.
Saya tidak mengenal apa itu cinta.
Saya tidak merasa pernah bercinta dengan siapa pun.
Saya tidak pernah dicium dan dipeluk oleh siapa pun.
Saya tidak pernah disentuh sedikit pun oleh siapa pun.
Saya tidak merasa tahu dan kenal dengan mereka yang merasa cinta kepada saya.
Saya tidak pernah merasa membuang waktu dan bicara untuk mereka semua.
Saya tidak pernah ada spasi dan jeda untuk membuat angan-angan bersama mereka.
Ya, saya tidak pernah tahu dan kenal oleh siapa pun di antara mereka yang berada di mana pun.
Karena mereka semua tidak pernah ada.


Sebelum 14 April 2009:
Saya tidak mengenal beberapa perempuan itu.
Saya tidak pernah bertukar cerita kepada mereka.
Saya tidak pernah bersalaman dengan mereka.
Saya tidak pernah bertegur kabar kepada mereka.
Saya tidak pernah merasa saya kenal dengan mereka.
Mereka semua itu tidak ada.

HARI INI di tanggal 14 April 2009, saya memulai kehidupan yang baru bersama Aorta. Sepakat untuk tetap berjalan seperti darah yang terus mengalir. HARI INI saya mengenal laki-laki dan bertemu siapa itu cinta. HARI INI juga saya mengenal perempuan yaitu saya sebagai Nadi.

HARI INI dimulai dari 14 April 2009. Sebelumnya, saya tidak pernah dilahirkan. Siapa pun yang mengatakan telah mengenal saya sebelum 14 April 2009, itu bukan saya. Mungkin itu hanya saya yang jadi-jadian. Jika ada beberapa orang laki-laki dan perempuan yang mengatakan telah mengenal saya sebelum 14 April 2009 dan mempunyai bukti saya telah memberi banyak bekas kepada mereka, mungkin mereka semua hanya penggemar berat saya yang tergila-gila kepada saya karena sudah gila menganggap saya sudah ada dan gila sebelum 14 April 2009.


Selamat datang Aorta dalam kehidupan Nadi. Ini dunia kita berdua yang dialiri darah dalam setiap jeda dan melangkahi spasi dalam segala sisi.

Saat bertemu kamu, saya tidak punya cinta untuk kamu.
Setelah bertemu kamu, saya punya 1 per 4 cinta untuk kamu.
Saat perang dingin dengan kamu, saya tambah 1 per 4 lagi cinta untuk kamu.
Saat benci itu hadir karena kamu, saya baru sadar sudah ada 1 per 4 lagi cinta untuk kamu.
Saat kamu katakan cinta kepada saya, saya menyempurnakannya menjadi 1 cinta untuk kamu.





Medan, 14 April 2009
00.14 wib
Aorta Cheroto & Nadi Dunia

Saturday, March 6, 2010

mencari yang TAK PERNAH dicari


Belum lama ini mungkin saya telah melihat sebuah bentuk hati dalam wujud yang kasat mata. Bolehlah saya mengatakan kalau itu adalah Dia.

Awalnya saya tidak pernah melihatnya, lebih tepatnya..mungkin lupa. Berkejaran dengan waktu tanpa harus ada perjanjian, yang kedua kalinya saya melihatnya dalam bentuk samar-samar tapi tetap dalam wujud kasat mata. Penasaran saya hilang sesaat dan lupa secara sempurna. Saya pun berjalan terus sambil menyetubuhi bumi dan waktu hingga akhirnya saya menemukannya tepat dalam kasat mata. Setelah dihitung-hitung, sudah banyak waktu diam-diam membuat perjanjian dengan bumi tanpa sepengetahuan saya. Harusnya saya marah. Saya tidak ingin mengalami yang ketiga kalinya. Cukup sampai yang kedua saja. Tapi, saat itu waktu dan bumi angkat tangan. Mereka bilang Tuhan sendiri yang membuat perjanjian dan ternyata saya menerimanya. Saya tidak percaya! Tapi, itu yang Tuhan lakukan, kata waktu dan bumi. Dan akhirnya, saya harus melakukannya yang ketiga kalinya. Saya sedang tidak mencari itu. Tapi, Dia datang untuk minta dicari.

Setelah saya dekap, saya bertanya kepadanya, "Bolehkah saya mencintaimu tanpa jaminan?" Dia pun tertawa sambil terus menusuk-nusuk hati saya dengan belati cintanya.



By: SomeoneIsLikeNone

Monday, November 23, 2009

CALM TO ME




Tidak perlu merasa sakit hati karena tidak diperdulikan sesaat atau beberapa saat. Tidak perlu merasa punya masalah paling berat jika satu hari saja tidak disentuh olehnya. Semua itu bukan apa-apa, kecuali jika dari kemarin kamu memang berharap tanpa mau untuk sedikit pun menoleh kepada mereka yang lain yang bisa tenang ketika mereka tidak diperdulikan dan tidak disentuh.

“Lagi ngapain?”
“Lagi bikin lagu…”
“Owh…” Kemudian tersenyum karena senang melihatnya yang bisa bahagia tanpa harus ada saya di sampingnya…

Dulu, ketika saya masih suka mengaduk-aduk emosi saat melihatnya sibuk sendiri, saya merasa diri begitu dungu. Saya seperti terlalu banyak menuntut.

“…(ngambek!)…”
“…bukan gitu. Tapi, mau bagaimana lagi, udah kayak gini dari sononya!”
“…(masih ngambek! Kemudian kabur!)…”

Hahahaha… lucu saja mengingat itu semua. Sekarang, sedang belajar untuk bisa menerima kekurangan, kritikan, kehilangan, ketidaksukaan dalam bentuk apa pun, dan sebagainya. Saya harus bisa bertahan walaupun disakiti, tapi bukan diam saja.

“Gak mudah lho menghadapi perbedaan. Mesti banyak sabar-sabar!”
“Masak sih?”
“Iya. Saya aja duuuhhh…kalo bukan karena dosa mungkin udah saya bunuh aja tuh orang!”
“Huss!!”

Tapi, memang seperti itu manusia. Mencoba dan terus mencoba untuk tetap bertahan dan menahan. Bertahan akan apa pun yang harus dijalani dan menahan akan apa pun yang tidak boleh dijalani.
Saya mungkin sudah berubah, begitu kata mama saya. Beliau akhirnya memeluk dan mencium saya. Hanya saja masih belum bisa terbaca apa saja yang menjadi pikiran dalam kepala dan perasaan di hati saya.
Jika diizinkan, saya ingin melupakan masa lalu. Saya ingin melupakan semua yang tidak pantas di saya. Tapi, itu semua tidak mungkin. Akhirnya, saya hanya bisa menebusnya dengan tetap berjiwa besar dan mengerti dengan semua ini. Ya, semua ini. Semua yang saya pikir bahwa inilah saatnya saya harus berkorban lagi. Saya mulai dengan memberi lagi. Apa saja yang bisa saya beri. Memberi yang membuat saya akan merasa kehilangan lagi. Hilang akan segala hal. Saya yang ingin dikenang baik. Saya yang ingin dicium penuh tangis saat mati tak kembali.

“Kenapa begitu cepat pergi?”
“………..”
“Maafkan saya…”
“………..”

Saya ingin semuanya baik-baik saja. Bantu saya untuk tetap membuat saya stabil dalam koordinat yang sudah ditentukan. Pikiran, hati dan jiwa saya masih terbang melayang-layang. Saya harus bisa menangkapnya agar tidak menjadi liar seperti dulu. Saya pasti bisa tetap berdamai dengan dunia.
Biarkan saya berjalan di jalan pilihan saya..

Monday, September 28, 2009

TERKADANG, ADA SAAT-SAATNYA SAYA TETAP DIAM MEMPERHATIKANMU...


Di sebuah ruangan. Sumpek tapi penuh makna, katanya. Ada saya dan cintanya saya.


Aku mendengar suara
jerit hewan yang terluka.
Ada orang memanah rembulan.
Ada burung kecil
yang terjatuh dari sarangnya.
Orang-orang harus dibangunkan.
Kesaksian harus diberikan
agar kehidupan bisa terjaga.
W. S. Rendra


Ini adalah sajak. Sebuah sajak. Saya membaca dari sebuah buku kumpulan artikel tentang Rendra. Kebetulan Rendra baru wafat beberapa waktu yang lalu, tak lama berselang setelah beberapa hari Mbah Surip wafat. Saya suka membaca kalimat “Aku mendengar suara jerit hewan yang terluka”. Saya tidak punya alasan khusus mengapa saya suka. Yang terpenting bagi saya ada kata “suara” dan “terluka”. Apa jadinya jika saya mendengar suara yang terluka? Suara yang dilukai? Atau luka karena suara? Terserah!

Saya memandang sekitar. Yang terlihat adalah mereka yang telah menjadi sesuatu yang lebih berharga dari apa pun. Sudah saya katakan, “Jangan pernah pisahkan saya dengan satu benda itu!”. Sekarang saya sedang duduk di samping mereka. Tapi, ini bukan ruangan saya. Ini ruangan cintanya saya yang mempunyai sesuatu yang berharga juga seperti saya. Mereka berdiri di dipan hitam yang kasar. Saya kurang suka dipannya. Tapi, mereka tersenyum. Mereka memang bisa tersenyum dengan saya sambil sesekali menggoda mata saya agar saya sudi menyentuh mereka. Saya menyentuh mereka tapi tidak untuk saya baca. Saya hanya mengatur mereka agar terlihat cantik. Saya suka melihat mereka rapi di atas dipan itu. Berwarna-warni dengan kekhasan masing-masing yang membuat saya selalu ingin menatap mereka. Ya, mereka hanya pajangan. Saya suka melihat pajangan saya. Tapi, di ruangan ini, mereka bukan pajangan saya. Mereka pajangan cintanya saya. Sekarang, pajangannya saya sudah digabung dengan pajangannya cinta. Semakin banyak pajangannya. Saya senang.

Cinta sedang di tempat tidur. Berbaring, eh bukan, terlungkup, sambil membaca berlembar-lembar brosur yang cinta ambil tadi di sebuah pameran. Saya geli melihatnya. Cinta telanjang dada. Cinta sudah mulai gembul lagi. Sementara saya, di sudut kamar, merasakan kebosanan yang kepanasan sambil tersenyum kecut seperti orang yang baru saja diambil makanannya. Dada saya masih sesak karena batuk. Cinta saya bersin-bersin. Parahnya dia tidak mau tertawa kepada saya.
Mengapa tidak mau????
Saya benci cinta!!!!!!
Tapi, saya sayang dengan cinta. Saya hanya merasa lelah saja.
Sebentar….

Bertambahnya usia bukan berarti kita paham segalanya (Dee, Filosofi Kopi: 67)
Itu yang baru saja saya buka, acak, dari dipan hitam cintanya saya. Apa rasanya saat membaca itu? Itu yang tertera di atas! Saya? Tidak tahu harus merasakan apa. Tidak tahu harus menilai apa. Terlalu hebat bagi saya jika saya berani menilai. Tapi, saya harus menilai supaya saya bisa jadi hebat. Hmmm…sepertinya tidak sekarang waktunya.

MIMPI YANG...SAYA SUKA CERITANYA!



Romo bermimpi tentang saya…

Kemarin aku bermimpi tentangmu. Kau menengadah, memandang awan yang tak pernah balik memandangmu. Dan sesekali kau tersenyum. Aku juga ada di sana. Memandangmu yang tak memandangku. Aku bertanya…
“Apakah kau tidak lelah memandang awan seharian?”
Kau diam, tetap dalam posisimu. Kemudian kau menghela nafas dan menjawab…
“Mengapa kau bertanya demikian? Apa kau tidak menyadari apa yang sedang kau lakukan?”
Aku diam. Berusaha mencerna pertanyaanmu.
“Lihatlah dirimu! Sepanjang hari hanya memandangku saja. Apa kau tidak bosan?”
Lalu aku mencoba menjawabmu…
“Bagaimana mungkin aku bosan? Hanya dengan memandangmulah rasa bosan menjauh dariku.”
Kau kembali berbicara tanpa menoleh ke arahku. Masih memperhatikan awan.
“Oh, begitu ya… Kalau begitu pertanyaanmu tadi sudah terjawab kan?”
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Membingungkan, pikirku. Tapi, tetap saja aku memandangmu kagum. Walaupun sedikit kesal karena kau menyalakan sepuntung rokok.
“Bagaimana? Sudah terjawab?”
“Kau sudah gila! Kau tidak bisa menganggap semua itu sama. Aku rela memandangmu sepanjang hari, rela menghabiskan waktu menemanimu duduk menatap awan tanpa henti. Itu karena begitu besarnya cintaku padamu. Bagaimana mungkin bisa sama? Jangan kau katakan bahwa kau jatuh cinta kepada awan. Omong kosong!!”
“Apa yang bisa kau harapkan dari rokokmu? Lihat saja, sebentar lagi mungkin kau yang akan dimusnahkan oleh rokok itu!!”
Kemudian kau tersenyum, dan tiba-tiba kau tertawa. Tapi, masih saja memandang awan. Sayup-sayup terdengar suara azan. Sebentar lagi malam akan tiba. Kau berhenti tertawa. Tapi, masih tetap menengadah. Memandang awan yang tak begitu kelihatan karena matahari semakin memudar. Kau masih juga menengadah. Seperti menunggu sesuatu, mengharapkan sesuatu. Aku pun masih terus memandangmu, memperhatikanmu. Kini kau menunduk sedikit, menghela nafas dan membuang puntung rokokmu. Kau berbalik ke arahku, memandangku dan langsung memelukku tanpa ragu. Kau berbisik pelan…
“Entah apa yang dapat melukiskan perasaanku saat ini. Sepanjang hari aku memandang langit. Ada awan dan matahari. Mereka di sana, bercengkrama. Tapi, kini malam tiba, dan akhirnya matahari pun pergi meninggalkan awan.”
Kemudian kau tertawa. Melepaskan pelukmu. Dan kini kau memegang jari-jariku hendak mengatakan sesuatu. Tapi, sayangnya aku terbangun dan mimpi itu memudar.

Romo romantis juga…

Blog Archive