Tiba-tiba aku merasa terkejut saat melihat kalender. Sudah banyak waktu berlalu. Kali ini aku bukan sedang mengingat tentang kematian. Tapi, tentang sudah seberapa jauh aku berlari dari kamu, dia dan mereka. Aku bukan berjalan, tapi berlari. Sebegitu pengecutnya aku kepada dunia karena terus bersembunyi dari yang ada.
Waktu kecil, tidak pernah terpikirkan olehku tentang aku yang sekarang. Sekarang, aku berpikir bahwa tidak mungkin bisa lagi mengubah masa lalu. Tentang masa depan, kondisinya sama dengan ketika waktu aku kecil yang tidak pernah terpikirkan bagaimana aku yang sekarang. Dan nanti di saat masa depan itu menjadi “sekarang”, tetap tidak bisa mengubah apa pun tentang aku yang sekarang yang nantinya menjadi masa lalu.
Aku. Bukan saatnya untuk berandai-andai dengan waktu. Sudah banyak yang berubah. Ada banyak yang masih aku ingat dari perjalanan panjangku. Tapi, bagian yang aku lupa pun juga ada banyak. Sekarang, aku ingin bagian yang tidak ingin aku ingat agar bisa aku lupakan. Dan aku akan sangat senang jika melakukannya dengan tanpa sadar.
Di usiaku yang 17 tahun, dulu, aku sedang mencoba untuk mengambil keputusan besar. Di saat itu lah aku sudah ditampakkan bagaimana konfrontasi itu akan terjadi, harus terjadi dan tidak harus akan terjadi. Keputusan yang pada saat itu aku yakini aku ambil dari hati tanpa ada pengaruh dari siapa pun. Dan sekarang, saat semua itu berlalu, aku berpikir bahwa pada saat itu aku mengambil keputusan bukan dari hati, tapi karena pengaruh dari orang lain.
Setiap mengingat tentang keputusan itu, aku merasa bahwa sepanjang usiaku ke depan yang dimulai dari 17 tahun itu akan terus dibayang-bayangi ntah sampai kapan kecuali aku melupakannya dengan tanpa sadar. Keputusan itu yang membuatku menjadi bukan siapa seharusnya aku menurutku. Tapi, siapa seharusnya aku menurut orang lain. Keputusan yang sudah mengenalkan aku bahwa dunia ini juga ada yang tidak nyata sehingga aku pun bermain di alamnya yang membuat aku luka yang tidak nyata. Aku yang sekarang tidak bisa mengubah masa lalu. Aku hanya bisa membiarkannya lewat begitu saja.
Aku “sakit”. Sudah banyak tangan manusia yang aku tarik agar mau memegangi kedua tanganku yang tak bisa berfungsi untuk menghadapi diri ini, terlepas begitu saja sesuai kemauanku. Aku tarik sedapat yang aku bisa. Tapi, setelah itu aku tidak mengerti mau aku apakan tangan-tangan manusia itu setelah bisa memegangi kedua tanganku. Karena aku tidak mengerti akhirnya aku lepas begitu saja tangan-tangan mereka dan kemudian aku mencari lagi tangan-tangan manusia yang lain. Sampai seterusnya hingga aku tetap tidak mengerti apa maksud dari semua yang sudah aku lakukan, tiba-tiba aku berhenti. Aku lelah mencari. Aku ingin dicari dengan tangan manusia yang seharusnya aku cari. Aku masih diam. Tidak bernafas mungkin. Aku tidak menyangka ternyata bukan tangan yang akan memegangi kedua tanganku, tapi duniaku yang akan saling melebur dengan dunianya. Bukan siapa-siapa, masih manusia. Hanya saja dia membawa dunia yang berbeda dibandingkan tangan-tangan manusia yang lain. Saat itu aku sudah berusia 22 tahun.
Jika aku menghitung waktu, ternyata aku sudah melewati 5 tahun yang penuh dengan keputusan berat. Padahal sebelum aku berusia 17 tahun pun aku punya perjalanan yang lain yang tidak bisa aku percaya tapi harus aku percaya karena sudah terjadi.
Usia 7 tahun yang begitu dini untuk berpikir jauh membuatku untuk terus berhadapan bahwa inilah permainan. Hidup itu adalah permainan. Aku tidak percaya bahwa sepanjang 10 tahun ke depan setelah usiaku 7 tahun, aku terus mempermainkan hidupku. Kali ini hanya hidupku. Lima tahun berikutnya kehidupan orang lain yang aku permainkan dengan tidak memperdulikan kehidupanku karena aku sudah mengambil keputusan di usia 17 tahun. Berapa tahun semuanya aku bermain-main dengan keputusan hidupku? 17 tahun.
Di saat aku “sakit” aku tidak bisa memaafkan diriku. Aku kira sekarang ini aku sudah hampir sembuh karena aku sudah mulai bisa memaafkan diriku. Aku tahu kalau bukan aku manusia yang paling menderita di dunia ini. Aku juga tidak menginginkan menjadi manusia yang menderita maka dari itu aku belajar untuk memaafkan. Kadang-kadang aku masih sering bermain-main dengan waktu sampai akhirnya aku tidak sadar waktulah yang mempermainkan aku. Untuk apa aku marah? Tidak ada guna. Akhirnya aku mengingat-ingat lagi keputusanku di usia 17 tahun.
Dunia yang melebur ke duniaku sampai sekarang masih tetap melebur. Kadang-kadang meledak dengan sendirinya saat aku mencoba-coba untuk bermain api.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment