Di bawah ini adalah postingan dari teman saya "Adieu", baca di sini
Waauuuwwwww... Keren!!!
Saya suka sekali tulisan "sinis" Adieu yang kedua ini (saya belum baca tulisan "sinis" Adieu yang pertama. Yang mana itu?). Setidaknya dari sini saya baru tau bagaimana cara Adieu mencoba jujur akan sesuatu yang "menjijikkan" itu. Saat pertama kali membacanya, saya semaput dibuatnya. Cukup panjang tulisan ini untuk dibaca hanya dengan beberapa kali menarik napas. Mau bagaimana? Saya semaput dibuatnya.
Sempat agak sedikit ingin "marah" karena beliau menyebut "fakultas sastra" secara gitu ya saya ini "anak" fakultas sastra, jadi agak gimanaaa...gitu. Emosi sedikit. (Canda Adieu).
Tapi, setelah dipikir-pikir Waaauwww... bagus juga beliau punya pendapat sendiri tentang "hal" itu karena saya juga punya pendapat sendiri. Siapa pun punya pendapat sendiri tentang "hal" itu bahkan mendeskripsikan dan memosisikan "hal" itu saja bagi setiap orang juga berbeda-beda. Maka, saya pun biasa saja.
Dari pemaparan beliau yang agak panjang itu, ada satu hal yang menjadi pertanyaan bagi saya. Pertanyaan yang biasanya muncul kalau saya sedang tidak bisa membedakan antara yang digeneralisasikan dengan yang lebih dispesifikasikan. Sebenarnya beliau ini sedang membicarakan sastra yang mana? Itu yang tidak saya pahami. Karena pada dasarnya yang saya ketahui selama saya belajar dengan dosen saya, tulisan Adieu itu juga merupakan bagian dari sastra. Kalau secara personal, akan saya anggap Adieu adalah penulis sastra yang hebat nan "berbahaya". Bagaimana tidak? Kata-katanya begitu tajam yang selama ini saya baca. Mampu menggugah bahkan membuat saya semaput, hehehe...
Sastra itu memang bebas. Sangking bebasnya ada yang menuhankan sastra tanpa merasa berdosa. Mungkin saya pun pernah begitu saat sedang tergila-gilanya. Tapi, untuk saat ini cukuplah sastra itu sebagai "bawahan"-nya saya.
Jika yang dianggap beliau "hal" yang menjijikkan itu adalah sastra kekinian, saya bisa saja setuju. Memang untuk hari ini, saya masih memandang sebelah mata terhadap sastra kekinian. Bolehlah kita katakan paham romantisme yang cengeng itu sedang menguasai pasar. Tapi, bagaimana dengan sastra yang bisa menimbulkan provokasi? Saya pikir untuk "mereka" yang senang dengan onani kata-kata, imajinasi, dan pemikiran akan menyukainya.
Saya paham jika beliau beranggapan sastra hanya sekedar wacana. Bahkan mungkin akan terus menjadi sekedar wacana yang tidak bisa menyelesaikan permasalahan. Apa salahnya wacana? Memang sih dulu saya pernah menilai wacana hanya sesuatu yang dihasilkan dari orang-orang yang tidak punya pekerjaan "action". Tapi, lama-lama saya pikir terkadang untuk tidur pun butuh wacana. "Mereka" ya memang seperti itu. Setiap "mereka" punya sisi "liar" nya yang masih butuh untuk dikendalikan. Mungkin untuk saat ini jalan mereka adalah dengan sedikit menganggap sastra itu adalah Tuhan mereka.
Dari yang wacana (saja), apa sih yang tidak bisa dibuat? Opini juga merupakan salah satu dari bentuk sastra. Mungkin sifat dan bentuknya saja yang terkesan lebih serius dan elegan.
Untuk sastra yang sedang hangat-hangatnya digandrungi oleh para "perempuan hebat" seperti kaum feminis memang dengan "bertelanjang"-lah yang mereka mau. Pada dasarnya mereka sedang ingin mencoba jujur dan disorot. Tapi, di pikiran mereka hanya itu satu-satunya jalan. Biarkan saja. Mereka juga butuh proses sekali pun jika kita ingin sekali "membanting" imajinasi mereka.
Sastra yang mana lagi, Adieu? Semua yang kita baca itu adalah sastra. Katakan kepada saya, sastra yang mana yang begitu dibenci itu? Saya juga ingin belajar dari Adieu.
Dari sastra juga banyak yang kita pelajari. Mungkin salah satunya adalah belajar memahami diri sendiri. Mungkin Adieu bisa menulis "hal" itu karena sudah membaca. Maka membacalah lagi yang lainnya agar semakin banyak yang akan bisa dipahami. Saya yakin Adieu tidak bisa lepas dari sastra.
Menyukai sastra, apa salahnya? Mengapa harus dengan mengutuknya? Pada dasarnya semua kembali ke diri masing-masing. Kita yang mengendalikan atau kita yang dikendalikan. Tinggal memilih.
Semua ada porsinya masing-masing. Memang ini berbicara tentang kebebasan yang sangat bebas. Sastra itu bebas, berbahaya, racun, menghidupkan, luka, tawa, senyum, gila, dan sebagianya. Adieu mau menyebutnya apa? Silakan. Hadapi saja semua itu dengan biasa saja. Jangan berlebihan. Jika memang menjadi racun, jauhkan jauh-jauh. Tapi, jangan memakinya karena jalan kita masih merupakan jalan yang sedang kita hasut sama-sama.
Ya pada intinya, saya tidak menyalahkan Adieu. Waaahhhh...sangat tidak. Saya hanya kaget saja!!!! Kaget Adieu menulis begitu. Apakah Adieu baru saja melewati masa-masa itu???? Kalau begitu selamat menikmati karena saya juga sudah pernah atau nanti akan kembali melewatinya.
Saya suka sekali tulisan "sinis" Adieu yang kedua ini (saya belum baca tulisan "sinis" Adieu yang pertama. Yang mana itu?). Setidaknya dari sini saya baru tau bagaimana cara Adieu mencoba jujur akan sesuatu yang "menjijikkan" itu. Saat pertama kali membacanya, saya semaput dibuatnya. Cukup panjang tulisan ini untuk dibaca hanya dengan beberapa kali menarik napas. Mau bagaimana? Saya semaput dibuatnya.
Sempat agak sedikit ingin "marah" karena beliau menyebut "fakultas sastra" secara gitu ya saya ini "anak" fakultas sastra, jadi agak gimanaaa...gitu. Emosi sedikit. (Canda Adieu).
Tapi, setelah dipikir-pikir Waaauwww... bagus juga beliau punya pendapat sendiri tentang "hal" itu karena saya juga punya pendapat sendiri. Siapa pun punya pendapat sendiri tentang "hal" itu bahkan mendeskripsikan dan memosisikan "hal" itu saja bagi setiap orang juga berbeda-beda. Maka, saya pun biasa saja.
Dari pemaparan beliau yang agak panjang itu, ada satu hal yang menjadi pertanyaan bagi saya. Pertanyaan yang biasanya muncul kalau saya sedang tidak bisa membedakan antara yang digeneralisasikan dengan yang lebih dispesifikasikan. Sebenarnya beliau ini sedang membicarakan sastra yang mana? Itu yang tidak saya pahami. Karena pada dasarnya yang saya ketahui selama saya belajar dengan dosen saya, tulisan Adieu itu juga merupakan bagian dari sastra. Kalau secara personal, akan saya anggap Adieu adalah penulis sastra yang hebat nan "berbahaya". Bagaimana tidak? Kata-katanya begitu tajam yang selama ini saya baca. Mampu menggugah bahkan membuat saya semaput, hehehe...
Sastra itu memang bebas. Sangking bebasnya ada yang menuhankan sastra tanpa merasa berdosa. Mungkin saya pun pernah begitu saat sedang tergila-gilanya. Tapi, untuk saat ini cukuplah sastra itu sebagai "bawahan"-nya saya.
Jika yang dianggap beliau "hal" yang menjijikkan itu adalah sastra kekinian, saya bisa saja setuju. Memang untuk hari ini, saya masih memandang sebelah mata terhadap sastra kekinian. Bolehlah kita katakan paham romantisme yang cengeng itu sedang menguasai pasar. Tapi, bagaimana dengan sastra yang bisa menimbulkan provokasi? Saya pikir untuk "mereka" yang senang dengan onani kata-kata, imajinasi, dan pemikiran akan menyukainya.
Saya paham jika beliau beranggapan sastra hanya sekedar wacana. Bahkan mungkin akan terus menjadi sekedar wacana yang tidak bisa menyelesaikan permasalahan. Apa salahnya wacana? Memang sih dulu saya pernah menilai wacana hanya sesuatu yang dihasilkan dari orang-orang yang tidak punya pekerjaan "action". Tapi, lama-lama saya pikir terkadang untuk tidur pun butuh wacana. "Mereka" ya memang seperti itu. Setiap "mereka" punya sisi "liar" nya yang masih butuh untuk dikendalikan. Mungkin untuk saat ini jalan mereka adalah dengan sedikit menganggap sastra itu adalah Tuhan mereka.
Dari yang wacana (saja), apa sih yang tidak bisa dibuat? Opini juga merupakan salah satu dari bentuk sastra. Mungkin sifat dan bentuknya saja yang terkesan lebih serius dan elegan.
Untuk sastra yang sedang hangat-hangatnya digandrungi oleh para "perempuan hebat" seperti kaum feminis memang dengan "bertelanjang"-lah yang mereka mau. Pada dasarnya mereka sedang ingin mencoba jujur dan disorot. Tapi, di pikiran mereka hanya itu satu-satunya jalan. Biarkan saja. Mereka juga butuh proses sekali pun jika kita ingin sekali "membanting" imajinasi mereka.
Sastra yang mana lagi, Adieu? Semua yang kita baca itu adalah sastra. Katakan kepada saya, sastra yang mana yang begitu dibenci itu? Saya juga ingin belajar dari Adieu.
Dari sastra juga banyak yang kita pelajari. Mungkin salah satunya adalah belajar memahami diri sendiri. Mungkin Adieu bisa menulis "hal" itu karena sudah membaca. Maka membacalah lagi yang lainnya agar semakin banyak yang akan bisa dipahami. Saya yakin Adieu tidak bisa lepas dari sastra.
Menyukai sastra, apa salahnya? Mengapa harus dengan mengutuknya? Pada dasarnya semua kembali ke diri masing-masing. Kita yang mengendalikan atau kita yang dikendalikan. Tinggal memilih.
Semua ada porsinya masing-masing. Memang ini berbicara tentang kebebasan yang sangat bebas. Sastra itu bebas, berbahaya, racun, menghidupkan, luka, tawa, senyum, gila, dan sebagianya. Adieu mau menyebutnya apa? Silakan. Hadapi saja semua itu dengan biasa saja. Jangan berlebihan. Jika memang menjadi racun, jauhkan jauh-jauh. Tapi, jangan memakinya karena jalan kita masih merupakan jalan yang sedang kita hasut sama-sama.
Ya pada intinya, saya tidak menyalahkan Adieu. Waaahhhh...sangat tidak. Saya hanya kaget saja!!!! Kaget Adieu menulis begitu. Apakah Adieu baru saja melewati masa-masa itu???? Kalau begitu selamat menikmati karena saya juga sudah pernah atau nanti akan kembali melewatinya.
----Mencoba jujur adalah bagian dari kehidupan, tapi tak selamanya kejujuran itu harus ditutup dengan makian dan
kutukan.
Adieu, saya pikir bunga liar kamu itu adalah bunga imajinasi. Ternyata ada di belakang rumah saya. Benarkan seperti ini rupanya? Kalua benar, saya ingin menertawakan diri saya. Hahahahahaha...
kutukan.
Adieu, saya pikir bunga liar kamu itu adalah bunga imajinasi. Ternyata ada di belakang rumah saya. Benarkan seperti ini rupanya? Kalua benar, saya ingin menertawakan diri saya. Hahahahahaha...
No comments:
Post a Comment