Dari sejak kecil, aku dibiarkan untuk mengerti sendiri bagaimana rasanya resah. Tidak ada yang mau menerima segala keluhanku selain diri aku sendiri. Orang tua hanya menjadi sebatas status dalam arus kehidupanku. Aku dibiarkan berjalan sendiri dengan segala macam rasa yang ada di dunia.
Pada saat aku semakin mengerti bahwa jagat yang aku lihat dari sudut pandangku adalah jagatku sendiri, dari situ lah aku mengerti arti kekuasaan bagi pilihanku sendiri. Otakku berputar untuk mencari sisi-sisi dimana seharusnya aku berhenti untuk menangis atas segala resah.
Aku mengenal lingkungan pergaulan, akhirnya. Banyak cerita, banyak derita. Atas nama kasih sayang dalam persahabatan, aku pun merelakan diri menjadi budak bagi mereka yang manja. Baru aku tahu kalau aku hanya dimanfaatkan dan akhirnya aku melakukan hal yang sama kepada yang lain karena aku pikir mungkin seperti itu lah hukum yang berlaku.
Aku menulis sebagaimana apa yang aku pikirkan. Sudah menjadi candu bahwa tangan ini merupakan asisten bagi pikiran dan hati yang tiada henti bereaksi. Pernah aku mengatakan kepada darahku bahwa aku ingin punya seorang manusia yang bisa mencatat sedetil mungkin apa yang aku pikirkan dan rasakan. Kemudian akan aku jadikan sebagai koleksi catatan harianku di susunan rak bukuku. Andai saja Tuhan mau memberikan kopian tentang semua yang ada pada diriku, mungkin sudah aku pinjam dan aku bahagia dengan merefleksikan diri dari hidupku.
Aku belajar apa itu disiplin. Sebuah keteraturan yang harus aku jalankan agar aku merasa hari ini adalah hari yang sempurna ketika semuanya berjalan dengan tanpa cela. Aku menulis dari hati makanya aku melebur. Semua keresahan yang muncul aku pisah-pisahkan dalam keping-keping yang bermakna. Setelah itu aku racik kembali agar menjadi sebuah cerita yang akan merefleksikan aku kembali.
Dengan menulis, aku tahu apa yang harus akan aku lakukan, aku lakukan dan tidak harus aku lakukan. Dengan menulis, aku tahu kepada siapa aku harus bicara dan apa yang harus aku bicarakan begitu juga sebaliknya. Dengan menulis, aku tahu apa yang harus aku punya dan tidak aku punya sehingga aku harus punya apa yang tidak aku punya. Dengan menulis, aku tahu apa yang belum aku baca, sedang aku baca, yang sudah aku baca dan akan aku baca. Dengan menulis, aku tahu apa yang belum aku tulis, sedang aku tulis, yang sudah aku tulis dan akan aku tulis. Dengan menulis, aku bisa mengenal pikiran dan perasaanku juga kelebihan dan kekuranganku. Dengan menulis, aku punya dunia sendiri yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun. Dengan menulis, aku bisa memegang kebebasan dalam memandang apa pun bahkan sampai hal yang tabu sekalipun. Dengan menulis, mungkin aku tidak sampai di sini.
Clara Ng pernah berkata, terlalu banyak yang harus ditulis dari cerita kehidupan ini. Aku kesal membaca kutipan itu dari surat kabar harian langgananku. Kesal karena dia mewakili duniaku. Kesal karena mengapa harus dia yang mengatakan itu dan mengapa bukan aku?
Aku belajar disiplin dari menulis. Aku belajar dewasa dari menulis. Aku belajar mengartikan segala yang sulit menjadi mudah ketika menulis. Ah, Tuhan…aku menulis saja terus agar aku bisa tetap menjadi apa yang aku mau dan aku tulis itu di dalam catatanmu!
No comments:
Post a Comment